Kamis, 12 Maret 2009

Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional di dalam Hukum Nasional

By Prof. Dr. Ibrahim R, SH, MH
Latar Belakang dan Permasalahan

Jika dilihat dari Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh Focus Group Discussion (makalah ini disajikan dalam acara Focus Group Discussion, di Surabaya 18-19 Oktober 2008-Red), kajian yang harus dilakukan pada tataran teori dan praktek, maka level makalah ini, seperti derajat sebuah disertasi, suatu beban dan tanggungjawab yang tidak ringan, tapi menarik, dan mudah-mudah bisa dicapai, sehingga hasil dari FGD dapat dijadikan pijakan operasional dalam memperjuangkan harkat dan martabat Bangsa di era globalisasi saat ini. Namun, sejarah menunjukkan bahwa segala hal yang dilakukan Bangsa Indonesia sangat tergantung pada selera para penguasa (orde lama, orde baru, orde reformasi), karena UUD 1945 atau UUD NRI 1945 tidak di desain berdasarkan kerangka ketatanegaraan yang terstruktur. Praktek penerapan hukum, diawali dengan identifikasi aturan hukum dan saat yang sama akan dijumpai empat kemungkinan, yaitu:

1. Kesenjangan antara das sollen dan das sein (benturan antara teori dan praktenya);
2. Leemten in het recht (kekosongan hukum);
3. Vege normen (norma kabur); dan
4. Antinomi (konflik norma).

Persoalan dasar yang dihadapi Negara lndonesia dari dulu sampai sekarang adalah pada fundamen (grand unified theory). Persoalan dan pertanyaan yang dimunculkan oleh TOR untuk dapat diberikan jawaban, teoritik maupun praktek, sebagai berikut:

- Sistem Hukum Nasional belum tegas mengatur mengenai hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional?
-
Lokakarya Evaluasi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
18 – 19 Oktober 2008, Surabaya.Bagaimanakah mengimplementasikan Hukum Internasional ke dalam Hukum Nasional?
- Belum berkembangnya doktrin dan praktek tentang Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional?
- Bagaimana suatu Perjanjian Internasional dapat diterapkan pada suatu persoalan yang dihadapi?
- Apakah hukum nasional lebih tinggi derajatnya dari pada Hukum Internasional atau sebaliknya lndonesia menganut aliran monisme atau dualisme atau campuran dalam hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional?
- Posisi Hukum Internasional dalam Hukum Tata Negara Indonesia?
- Pengaturan Hukum Tata Negara Indonesia tentang status Hukum Internasional?
- Pengaturan UUD NRI 1945 tentang status Hukum Internasional?

Landasan Teoritik

Teori dan praktek merupakan dua hal yang berpasangan, kalaupun tidak jarang keduanya bertentangan, tetapi teori tanpa praktek tidaklah lengkap dan praktek tanpa teori tidak akan pernah mapan. Untuk mengkaji pengaturan, posisi, dan kedudukan Hukum Internasional dalam Hukum Nasional dapat ditinjau dari berbagai segi sebagai implementasi dari:

a. konsep Negara hukum yang dipengaruh aliran hukum yang melekat padanya;
b. sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan Negara yang dianut dan menentukan kedudukan dan hubungan kerja antara lembaga Negara;
c. Negara yang berdaulat sebagai Subyek Hukum Internasional yang melahirkan hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional (Negara sebagai Subyek Hukum Internasional diwakili oleh eksekutif);
d.
“Negara hukum menurut Soepomo (salah satu the founding fathers Indonesia) memberi arti rechtstaat sebagai Negara berdasarkan atas hukum, sebenarnya yang diinginkan oleh Soepomo adalah mensintesakan unsur rechtstaat dengan rule of law, tetapi belum sempat diselesaikan dan bagaimana bentuk refleksinya belum jelas.”apakah hirarki perundang-undangan nasional seirama dengan hirarki Hukum Internasional.
e. dalam praktek hubungan hukum nasional dengan hukum internasional dikenal dua aliran, yaitu monisme dan dualisme.

Teori kewenangan

Negara Berdasarkan atas Hukum
Negara hukum menurut Soepomo (salah satu the founding fathers Indonesia) memberi arti rechtstaat sebagai Negara berdasarkan atas hukum, sebenarnya yang diinginkan oleh Soepomo adalah mensintesakan unsur rechtstaat dengan rule of law, tetapi belum sempat diselesaikan dan bagaimana bentuk refleksinya belum jelas. Empat unsur rechtstaat dari Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl, yaitu jaminan perlindungan HAM, pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politika, tindakan Pemerintah berdasarkan atas Undang-Undang, dan Peradilan Administrasi Negara. Ke-empat unsur tersebut belum lengkap untuk dikonstruksikan dalam konsep Negara hukum Indonesia, oleh sebab itu, masih diperlukan dua unsur dari rule of law A.V. Dicey. Unsur yang belum tercermin dari rechtstaat yaitu supremacy of law dan equality before the law.

Untuk mensintesakan keduanya dengan jiwa bangsa yang disebut dengan Pancasila, namun harus disadari bahwa karakter rechtstaat ber-umbrella dan refleksi dari civil law system dan rule of law ber-umbrella dan refleksi dari common law system. Kemudian the founding fathers, memilih sistem pemerintahan Presidensial yang merupakan refleksi dari rule of law, pembagian kekuasaan memilih percampuran yang merupakan model dari pembagian kekuasaan pada sistem pemerintahan Parlementer dalam bayang-bayang logika trias politika. Namun, percampuran kekuasaan yang dipilih tidak menggunakan bayang-bayang logika trias politika, tetapi melahirkan Lembaga-lembaga Negara, yaitu Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara dan boleh dikatakan tanpa bentuk. Kini, setelah amandemen UUD 1945 makin tidak menentu, yaitu melahirkan main state’s organ (lembaga negara utama), auxiliary state organ (lembaga negara bantu), dan komisi Negara. Lembaga legislasi nasional berdasarkan UUD NRI 1945 adalah DPR dan Presiden, karena Presiden sebagai bagian dari lembaga legislasi, maka setiap melakukan dan melaksanakan Hukum Internasional harus dengan persetujuan DPR, perhatikan macam dan jenis Hukum Internasional.

Sistem Pemerintahan dan Pembagian Kekuasaan

Pemegang Hak Paten sistem pemerintahan yang menjadi pilihan saat ini adalah Inggris dengan sistem pemerintahan Parlementer sebagai mother of parliament, Amerika Serikat dengan sistem pemerintahan Presidensial sebagai mother of presidentialism, dan Perancis dengan sistem pemerintahan Semi-Presidensial sebagai mother of semi-presidentialism. Negara-negara lain sebagai pemegang lisensi dengan varian-varian yang disesuaikan perkembangan sejarah ketatanegaraanya, pilihan terbanyak adalah sistem pemerintahan parlementer.

Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem pemerintahan Inggris di mana kepala Negara adalah Raja/Ratu, Eksekutif adalah Perdana Menteri yang berasal dari anggota Badan Perwakilan yang menang dalam Pemilu (Ketua Partai), maka yang disebut Parlemen di Inggris adalah Raja/Ratu, Perdana Menteri, dan Badan Perwakilan (House of Lords dan House of Commons). Parlemen terdiri dari: raja, wakil bangsawan, dan wakil rakyat. Kerajaan lnggris melaksanakan konsep kekuasaan yang sifatnya monistik, artinya raja, wakil golongan bangsawan, dan wakil rakyat berada dalam satu wadah yang disebut Parlemen. Parlemen merupakan hak untuk membuat atau tidak membuat suatu aturan hukum apapun, tidak seorangpun atau suatu badan yang diakui oleh hukum mempunyai hak mengubah atau meniadakan hukum yang dibuat oleh Parlemen (dikenal dengan Supremasi Parlemen). Inggris menjalankan pemerintahan yang demokratis dan sangat menghormati kebiasaan. Sistem Parlemen ditandai oleh hubungan kerja sama yang erat antara Raja, wakil, bangsawan, dan wakil rakyat dalam Parlemen. Sifat monistik diperlihatkan dengan meletakkan kedudukan Raja dalam Parlemen sebagai ciri khas sistem pemerintahan parlementer Inggris, dibandingkan dengan pemerintahan parlementer Negara lain. Secara individual dan kolektif menteri bertanggungjawab terhadap Parlemen, sistem pertanggungjawaban kabinet yang merupakan konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi di Inggris. Pemerintah terdiri dari tiga unsur:
1. Perdana Menteri, bukan sebagai anggota kabinet, tetapi sebagai pemimpin cabinet;
2. Kabinet, yang beranggotakan manteri-menteri yang di-angkat oleh monarch atas usul;
3. Perdana Menteri;
4. Ada menteri yang berfungsi sebagai pejabat administrasi dan tidak duduk dalam kabinet;

Kabinet secara formal ditetapkan oleh monarch, keanggotaannya ditentukan oleh hasil pemilihan umum sebagai sifat parlemennya. House of Lords tidak banyak pengaruhnya terhadap pembentukan kabinet. Pertanggungjawaban eksekutif arahnya kepada Parlemen, tetapi evaluasi hanya dilakukan oleh House of Commons. Sistem pemerintahan parlementer Inggris, berjalan melalui proses pengurangan kekuasaan absolut raja dan diberikan kepada perwakilan bangsawan, proses ini, akhirnya melembaga menjadi Majelis. Pertumbuhan sejarah pembentukan Majelis dan sifat monistik yang melahirkan ajaran supremasi parlemen dan berpengaruh terhadap sistem pemerintahan demokrasi moderen. Unsur pokok dalam sistem pemerintahan Inggris adalah keseimbangan, kabinet dan parlemen mempunyai hak-hak yang setingkat dan mampu saling kontrol, terlihat pada mekanisme perimbangan antara tanggung jawab politik para Menteri pada satu pihak dan hak pembubaran dewan di lain pihak yang merupakan persamaan derajat antara eksekutif dengan legislatif. Untuk persamaan dalam ha1 waktu ada arbitrasi, seperti kalau kabinet minoritas atau terancam menjadi minoritas, ia tidak dibubarkan sekonyong-konyong secara ex abrupto, melainkan dinyatakan pembubaran dewan, sehingga apa yang menjadi persoalan dalam dewan dapat diajukan kepada pemilih. Kalau dalam pemilihan memberikan suara terbanyak kepada dewan, maka para Menteri mengikuti dan tunduk kepada penetapan rakyat dan mengundurkan diri. Kalau sebaliknya, hasil pemilihan membenarkan tindakan kabinet, adalah giliran dewan untuk tunduk kepada kedaulatan rakyat. Parlemen Inggris terdiri dari: Majelis Tinggi (House of Lords) adalah wakil bangsawan dan Majelis Rendah (House of Commons) adalah wakil rakyat, dan Raja (Ratu). Artinya: RajalRatu, House of Lords, House of Commons, berada dalam satu wadah disebut Parlemen. Dalam sistem Inggris memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada House of Commons untuk membentuk Undang-Undang (Act of Parliament). Raja/Ratu yang merupakan bagian dari Parlemen hanya memiliki fungsi formal, artinya setiap Undang-Undang wajib diajukan kepada Raja/Ratu untuk ditandatangani. Kedudukan parlemen yang sangat kuat, karena diisi oleh orang-orang partai pemenang pemilihan umum. Perdana Menteri berasal dari kalangan mereka dan memerintah selama kepercayaan masih diberikan kepadanya. Namun, oposisi dibiarkan tumbuh dengan subur, sehingga demokrasi dapat berkembang. Kedaulatan ada ditangan rakyat dan sistem ketatanegaaran Inggris sering disebut Parliamentary Sovereignty dan secara historis kekuasaan tersebut berkembang sejak Glorius Revolution 1688. Kewenangan utama parlemen adalah memiliki hak monopoli dalam membuat dan menyusun peraturan perundang-undangan dan pendelegasian wewenang legislatif hanya boleh dilakukan oleh parlemen. Peraturan perundang-undangan dibedakan atas tiga bentuk: (1). Act of Parliament. (2). Delegated Legislation. (3). Autonomic Legislation. Peranan utama anggota Parlemen, berikut:

a. Menilai secara kontinyu rekan separtai yang menduduki jabatan-jabatan menteri dan rekan-rekan mereka yang mungkin. Seorang Menteri mungkin memperoleh mosi kepercayaan secara resmi, tetapi sebenarnya kehilangan posisi diantara para rekannya di parlemen, apabila pendapatnya dilumpuhkan dalam perdebatan dan hanya mempunyai pengetahuan yang sangat sedikit tentang hal yang ditangani.
b. Undang-Undang yang dilahirkan disebut Acts of Parliament, tetapi Rancangan Undang-Undang disiapkan oleh ahli hukum di Whitehall yang berkerja atas intruksi para pegawai Pemerintah berdasarkan kebijakan Menteri.
c. Mengawasi pelaksanaan Undang-Undang, seorang anggota parlemen dapat mengajukan secara langsung kepada Menteri terhadap suatu keputusan. Apabila hasil jawaban tidak puas, dapat diajukan dalam sidang House of Commons.
d. Parlemen dapat menyampaikan gagasan politik, karena partai mempunyai komite-komite ahli dan mengawasi kegiatan Departemen Pemerintahan.
e. Eksekutif dapat menggunakan publisitas Parlemen untuk mendapatkan persetujuan tentang kebijakan-kebijakan pemerintah, tetapi oposisi justru sebaliknya.

Sistem Pemerintahan Presidensial
Amerika Serikat membagi pemerintahan menjadi tiga cabang, yaitu legislatif (Senate dan House of Representatives), eksekutif (Presiden sebagai kepala Negara dan kepala Pemerintahan), dan Yudisial (Mahkamah Agung), pembagaian kekuasaan ini berdasarkan atas prinsip pemisahan kekuasaan dari Trias Politika Montesquieu, yang kemudian dilengkapi dengan checks and balances system, yaitu ketiga kekuasaan tersebut dapat saling kontrol secara terbatas oleh kekuasaan yang sama secara terbatas.
The United States of America diproklamasikan tahun 1776 dan naskah deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang disusun Thomas Jefferson (1743-1826) dan disahkan oleh Kongres Kontinental di Philadelphia pada tanggal 4 Juli 1776, yang ditandatangani oleh 56 anggota Kongres. Amerika Serikat mempunyai konstitusi setelah tiga belas tahun merdeka, yaitu tahun 1789. Setelah konstitusi disahkan dilanjutkan dengan pemilihan Presiden, George Washington (1789-1797) terpilih sebagai Presiden pertama secara aklamasi, seperti juga pemilihan Presiden Indonesia pertama Soekarno (1901-1970), yang dipilih tanggal 18 Agustus 1945 setelah UUD 1945 di sahkan oleh PPKI. Presiden Amerika Serikat yang pertama, telah mewariskan suatu tradisi dua kali masa jabatan Presiden dengan cara menolak dipilih untuk ketiga kalinya. Jika ia mau tidak ada yang akan menghalanginya dan dapat dipastikan bahwa akan terpilih secara aklamasi, karena merupakan mantan panglima perang kemerdekaan dan salah seorang the founding fathers yang sangat disegani dan berpengaruh. Amerika Serikat, pada saat diproklamasikan terdiri dari tiga belas Negara Bagian dan sekarang lima puluh Negara Bagian. Perang kemerdekaan yang terjadi pada musim semi tahun 1775 di Concord, Lexington, dan Bunder Hill menimbulkan pro dan kontra dikalangan tokoh dan masyarakat, apakah revolusi merupakan satu-satunya jalan untuk merdeka, yaitu: yang mendukung jalan perang adalah Samuel Adams dan John Hancock, tetapi yang memilih cara damai dengan Inggris adalah George Washington (1732-1799) dan Thomas Jefferson (1743-1826).
Arsitek konstitusi Amerika Serikat boleh dikatakan dilakukan oleh ahli hukum, pemerintahan, dan politik, yaitu 33 ahli hukum dari 55 peserta konvensi, kalau diperhatikan secara seksama bahwa Amerika Serikat menganut bentuk Negara federal, bentuk pemerintahan republik, dan sistem pemerintahan presidensial. Prinsip dasar dalam konstitusi Amerika Serikat, membagi pemerintahan menjadi tiga cabang, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudisial: Juga menetapkan bagaimana jabatan kenegaraan harus dipilih, batas kekuasaan Federal dengan Negara Bagian, memberikan hukum substantif dasar terbatas yang berhubungan dengan masalah-masalah kontroversial, seperti: perbudakan, kebebasan sipil, hutang Negara, perpajakan, perdagangan, Perjanjian Internasional, dan gelar bangsawan. Sistem pemerintahan Amerika Serikat merupakan yang paling rumit di dunia dengan prinsip Government by the People, artinya kedaulatan ada di tangan rakyat dan dinyatakan melalui pemilihan umum, Presiden dan Wakil Presiden dipilih untuk masa jabatan empat tahun dan sesuai dengan tradisi hanya untuk dua periode masa jabatan. Ketika tradisi yang diciptakan Presiden pertama George Washington (1789-1797) dilanggar oleh Presiden F. D. Roosevelt (1933-1945) yang terpilih untuk keempat kalinya, maka lahirlah amandemen pembatasan masa jabatan presiden dua periode tahun 1951. Tidak seorang pun harus dipilih untuk jabatan Presiden lebih dari dua kali, tidak seorang pun yang telah memegang jabatan Presiden atau ditugaskan sebagai Presiden, untuk lebih dari dua tahun dari suatu masa jabatan untuk mana seseorang lain dipilih menjadi Presiden harus dipilih untuk jabatan Presiden lebih dari sekali.
Keadilan ditegakan melalui Supreme Court yang merdeka dan bebas dari pengaruh legislatif dan eksekutif, para hakim dan Hakim Agung diangkat oleh Presiden setelah menadapatkan persetujuan Senate, Hakim Agung tidak diangkat seumur hidup, tetapi diangkat sepanjang Hakim tersebut melaksanakan tugas dengan baik dalam rentangan waktu seumur hidup, dapat diberhentikan apabila melakukan pelanggaran, kejahatan, dan pemberhentiannya harus didukung dua pertiga anggota Senat.

Teori Hubungan Hukum Nasional dan Hukum lnternasional

Mengenai hubungan antara perangkat Hukum Nasional (HN) dengan Hukum Internasional (HI), yaitu:

a.
“Indonesia menurut Mochtar Kusumaatmadja menganut aliran monisme dengan primat Hukum Internasional. Untuk saat ini, Indonesia dan Negara-Negara sedang berkembang seharusnya menganut dualisme, dan kalaupun memilih monisme harus primat Hukum Nasional.”
Monisme menempatkan HN dan HI sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum pada umumnya, keduanya saling berhubungan. Tokoh aliran ini adalah Hans Kelsen dan Georges Scelle, yang memunculkan dua paham:
- HN lebih tinggi dari HI (primat HN);
- HI lebih tinggi dari HN (primat HI).
Negara penganut monisme: Perancis, Jerman, dan Belanda.

b. Dualisme menempatkan HN dan HI sebagai sistem hukum yang terpisah, masing-masing berdiri sendiri dan tidak ada hubungan satu dengan yang lainnya, tokoh aliran ini adalah Triepel dan Anzilotti. Negara penganut dualisme: Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.

Indonesia menurut Mochtar Kusumaatmadja menganut aliran monisme dengan primat Hukum Internasional. Untuk saat ini, Indonesia dan Negara-Negara sedang berkembang seharusnya menganut dualisme, dan kalaupun memilih monisme harus primat Hukum Nasional.

Hirarki Hukum lnternasional

J.G. Starke membagi sumber materiil Hukum Internasional, dalam lima bentuk:

(1) Kebiasaan;
(2) Traktat;
(3) Keputusan pengadilan atau badan arbitrase;
(4) Karya para ahli hukum;
(5) Keputusan organisasi lembaga internasional;

Sumber Hukum Internasional berdasarkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sebagai berikut:
a. International Conventions;
b. International Custom;
c. General Principles of Law;
d. Judicial Decisions; dan
e. Teachings of the Most Highfy Qualified Publicists.

Sumber Hukum Internasional itu dijadikan dasar untuk membuat Perjanjian Internasional, dan bagaimana menempatkan sumber Hukum Internasional dalam kategori Perjanjian Internasional dalam kerangka dan hirarki Hukum Nasional.

Kekuatan mengikat Hukum Internasional menurut Corbett adalah sebagai kehendak Negara-Negara agar hubungan timbal balik yang mereka adakan karena tidak dapat dilepas dari sifat sosial mereka diatur seraga dan serasional mungkin, melalui tahapan:
Pertama, tahap atau arti pertama dari perkataan “sumber” ini merupakan yang paling abstrak dan yang paling kontroversial, diartikan sebagai ketentuan yang prosedural (tidak pada cita-cita atau ide).
Kedua, tahap kedua kita mengartikan “sumber” sebagai unsur konstitutif bagi aturan Hukum Internasional atau kriteria untuk menyatakan bahwa Hukum Internasional atau bukan, ini sebagai landasan Hukum Internasional sebagai suatu sistem dari peraturan-peraturan yang membentuknya, yaitu kesepakatan Negara-Negara menurut Corbett.
Ketiga, sumber dalam arti manisfestasi relevan atas dasar mana ada tidaknya unsur konstitutif dapat dibuktikan dan dalam konsepnya Brownlie sebagai sumber material. Dalam Hukum Internasional, subyek-subyek itu sendiri merupakan pembentuk hukum (legislator) tidak selalu terdapat prosedur serupa. Akibatnya, persoalan tentang apakah suatu peraturan sungguh-sungguh merupakan peraturan internasional harus dijawab atas dasar fenomena yang tidak begitu formal dan terstruktur, yang dalam ha1 ini diberi istilah “manifestasi unsur konstitutif”. Jadi, Hukum Internasional harus memenuhi dua persyaratan, yaitu derajat kepastian dan kejelasan setinggi-tingginya, perhatian yang cukup terhadap hubungan antar hukum dan hubungan kemasyarakatan. Kesemua itu harus dilihat dalam tiga karakteristik masyarakat internasional yang mempengaruhi Hukum Internasional, yaitu:

(1) Ada sejumlah Negara yang hidup berdampingan (co-exist), yaitu Negara merdeka dan berdaulat yang tidak tunduk pada kekuasan yang lebih tinggi.
(2) Terjadi interaksi antara Negara-Negara yang termasuk ke dalam sistem internasional, terjadi melalui intensitas tertentu secara historis.
(3) Pengakuan atau persepsi pada Negara-Negara tentang perlunya pengaturan hubungan timbal balik antara mereka.

Berbicara Hukum Internasional harus memahami 18 istilah yang sering digunakan dalam Hukum Internasional, yaitu: Treaty; Convention; Agreement; Arrangement; Declaration; Charter; Covenant; Statute; Protocol; Pact; Process verbal; Modus Vivendi; Act; Final Act; General Act; Accord; Compromis; Concordat.

Dalam praktek, treaty dan convention menduduki tempat paling tinggi dalam urutan Perjanjian Internasional.

1. Traktat, istilah ini yang sudah umum digunakan dalam perjanjian-perjanjian internasional, seperti:
2.1. Treaty Banning Nuclear Weapon Tests in the Atmosphere, in Outer Space and Underwater of August 5, 1963.
2.2. Treaty on Extradition between the United States of America and Japan of March 3, 1978.
2. Konvensi, digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang multilateral yang mengatur masalah besar dan penting dan berlaku sebagai kaidah hukum internasional berlaku secara khas, seperti:
2.1. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide of December 9, 1948.
2.2. Convention on the Law of the Sea of December 10, 1982.
3. Deklarasi, pernyataan atau pengumuman dan isinya kesepakatan yang bersifat umum dan pokok-pokoknya saja, menurut J.G. Starke dibedakan 4 macam:
3.1. Deklarasi sebagai suatu perjanjian dalam arti yang sejati, seperti: Deklarasi Paris 1856; Deklarasi Bangkok 8 Agustus 1967; Universal Declaration of Human Rights, 10 Desember 1948.
3.2. Deklarasi sebagai suatu instrumen yang tidak formal yang dilampirkan pada suatu perjanjian (konvensi atau traktat).
3.3. Deklarasi sebagai persetujuan informal yang berhubungan dengan masalah tidak begitu penting.
3.4. Deklarasi sebagai sebuah resolusi yang dikeluarkan dalam suatu konperensi diplomatik yang berisi beberapa pernyataan tentang beberapa prinsip yang harus dihormati oleh semua Negara, seperti:
- Declaration on the Prohibition of Military, Political, or Economics Coercion in the Conclution of Treaty (Konvensi Wina 1969);
- Declaration of Principles Governing the Seabed and the Ocean Floor, and the Subsoil thereof, Beyond the Limit of National Jurisdiction.
4. Statuta, biasa dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu Organisasi Internasional, seperti Statute of Permanent Court of lnfernafional Justice; Statute of International Court of Justice.
5. Piagam, dipergunakan untuk Perjanjian Internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu Organisasi Internasional, seperti Charter of the Unifed Nations; Charter of the Organization of African Unity; Charter of the Organization of American States 1948.
6. Kovenan, artinya hampir sama dengan Piagam, digunakan sebagai konstitusi suatu Organisasi Internasional, seperti: Covenan of the League of Nations; International Covenan on Civil and Political Rights of December 16, 1966; International Covenan on Economic, Social, and Cultural Rights, December 16, 1966.
7. Persetujuan, digunakan untuk Perjanjian Internasional yang ditinjau dari segi isinya lebih tehnis administratif, seperti:
- Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Commonwealth of Australia Establishing Certain Seabed Boundaries, May 18, 1971.
- Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Republic of India Relating to the Delimination of the Continental Shelf Boundary between the Two Countries, August 8, 1974.
8. Perjanjian, arti generik untuk menyangkut segala bentuk, jenis, macam perjanjian internaional, arti spesifik digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang penting, besar baik yang menyangkut Bilateral dan Multilateral. Dalam praktek di Indonesia: Perjanjian disahkan dengan UU, sedangkan Persetujuan dengan keputusan Presiden.
9. Pakta, biasanya digunakan dalam perjanjian yang berkaitan dengan bidang mliter dan pertahanan, seperti: NATO; Pakta Warsawa.
10. Protokol, menurt J.G. Starke merupakan jenis Perjanjian Internasional yang kurang formal, jika dibandingkan dengan traktat, sebagai instrumen pembantu pada suatu konvensi, tetapi berkedudukan secara berdiri sendiri dan tunduk pada ratifikasi atas konvensi itu sendiri.

Teori Kewenangan jabatan kenegaraan pada setiap sistem pemerintahan, wajib dipertautkan dengan pembagian kekuasaan Negara, untuk menentukan batas dan tanggungjawab masing-masing lembaga, sesuai dengan prinsip dan hakikat pembagian kekuasaan, berikut:
(1) Setiap kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan;
(2) Setiap pemberian kekuasaan harus dipikirkan beban tanggung jawab untuk setiap penerima kekuasaan;
(3) Kesediaan untuk melaksanakan tanggung jawab harus secara inklusif sudah diterima pada saat menerima kekuasaan;
(4) Tiap kekuasaan dittentukan batasnya dengan teori kewenangan.

Dalam teori beban tanggung jawab, ditentukan oleh cara kekuasaan itu diperoleh yaitu: pertama-tama kekuasaan diperoleh melalui attributie, setelah itu dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang dilakukan dengan dua cara: delegatie dan mandaat. Delegatie dilakukan oleh yang punya wewenang dan hilangnya wewenang dalam jangka waktu tertentu, penerima bertindak atas nama diri sendiri dan bertanggungjawab secara eksternal. Sedangkan, mandaat tidak menimbulkan pergeseran wewenang dari pemiliknya, sehingga tanggung jawab pelaksanaan tetap berada pada pemberi kuasa. Penerima kewenangan atribusi, tergantung pada pola sistem pembagian kekuasaan yang membawa nilai kedaulatan rakyat dan menghindari absolutisme.

Ketentuan Hukum lnternasional Dalam Hukum Nasional

Meletakkan Hukum Internasional dalam sistem hukum Indonesia dalam teori dan praktek tidak mudah, karena sistem ketatanegaraan Indonesia masih mengandung problema pada grand unified theory ketatanegaraan, sehingga praktek ketatanegaraan selama ini (sejak proklamasi sampai sekarang) tidak pernah dapat melengkapi dan memperkuat struktur ketatanegaran Indonesia, tetapi justru makin memburamkan sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam mengkaji pengaturan, posisi, dan status Hukum Internasional dalam sistem hukum Indonesia, harus dilihat dalam UUD NRI 1945 dan ketentuan perundang-undangan. Pengaturan dalam UUD baru diatur pada amandemen UUD 1945 (2001 dan 2002), sebelumnya tidak diatur, hanya diatur dengan Surat Presiden No. 2826/HK/1960 dan kemudian lahir Undang-Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Ketentuan UUD NRI 1945
“Meletakkan Hukum Internasional dalam sistem hukum Indonesia dalam teori dan praktek tidak mudah, karena sistem ketatanegaraan Indonesia masih mengandung problema pada grand unified theory ketatanegaraan, sehingga praktek ketatanegaraan selama ini (sejak proklamasi sampai sekarang) tidak pernah dapat melengkapi dan memperkuat struktur ketatanegaran Indonesia, tetapi justru makin memburamkan sistem ketatanegaraan Indonesia.”
Pasal 11, UUD NRI 1945 Ayat (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Ayat (2) Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Ayat (3)). Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan Undang-Undang. Ketentuan Pasal 11 UUD NRI 1945 belum cukup mengatur posisi dan kedudukan Hukum Internasional dalam sistem Hukum Tata Negara Indonesia dan Pasal 11 ini belum bisa dijadikan payung hukum jika menguji ketentuan-ketentuan internasional yang akan menjadi bagian Hukum Nasional dan dalam praktek juga tidak jelas Indonesia menganut monisme atau dualisme dalam hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional. Praktek dari tahun 1945-1960 tidak ada ketentuan, baru tahun 1960 keluar Surat Presiden No. 2826/HK/1960 dan kemudian lahir Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Tetapi, nasib Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tidak jelas, apa sudah dicabut atau belum.

Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, tidak singkrun dengan Jiwa dan Semangat UUD NRI 1945 sebagai mana diamanatkan Pembukaan UUD NRI 1945, kurang pas dengan struktur pembagian kekuasaan Negara, hirarki peraturan perundang-undangan, jika diletakkan pada posisi dan hirarki Hukum Internasional. Ketentuan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 yang akan menimbulkan berbagai implikasi dan persoalan teoritik dan praktek, yang dapat dipertanyakan dan digugat dalam prakteknya, berikut: Pasal 1 ayat (2) Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu Perjanjian Internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan persetujuan (approval). Kesemuanya itu dalam bentuk hukum apa bisa dilakukan dalam warna hirarki perundang-undangan lndonesia dan juga dalam hirarki warna Hukum Internasional. Bagi dunia internasional soal sumber Hukum Internasional dalam pelaksanaannya masih menjadi perdebatan baik secara teoritik maupun praktek, bahkan ada yang menuduh bahwa Hukum Internasional itu bukan hukum. Pasal 1 ayat (3) Surat Kuasa (full powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah RI untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian. Perjanjian menyatakan persetujuan Negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian adalah menyelesaikan hal-ha1 yang diperlukan dalam perbuatan Perjanjian Internasional. Sesuatu yang sulit bisa diterima bahwa Presiden atau Menteri dapat memberikan Surat Kuasa kepada seorang atau beberapa orang untuk mewakili Negara Indonesia untuk menyetujui dan menandatangani Perjanjian Internasional. Menteri sebagai pembantu Presiden dalam tugas keeksekutifan, memberikan Surat Kuasa kepada seseorang atau beberapa orang untuk menyetujui dan menandatangani Perjanjian Internasional, sama juga persoalan yang akan ditimbulkan oleh Pasal 1 ayat Pasal 2 Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam perbuatan dan pengesahan Perjanjian Internasional, dengan berkonsultasi dengan DPR dalam hal yang menyangkut kepentingan publik. Tidak bisa membedakan mana Pemerintah (eksekutif) dengan Menteri sebagai pembantu Presiden dalam melaksanakan tugas keeksekutifan, sepertinya Menteri sebagai lembaga tinggi Negara, tetapi Menteri disini mewakili Pemerintah (eksekutif). Pasal 3 Pemerintah RI mengikatkan diri pada Perjanjian Internasional melalui cara-cara, sebagai berikut:
(1) penandatanganan;
(2) pengesahan;
(3) pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
(4) cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam Perjanjian Internasional.

Pasal 10, pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan Undang-Undang, apabila berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan Negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara RI;
c. kedaulatan atau hak berdaulat Negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Komentar

“Dapatkah DPR dan Presiden mengesahkan Perjanjian Internasional yang bertentangan dengan hukum nasional, secara teoritik tidak boleh, tetapi dalam ha1 apa pertentangan itu terjadi dan apakah bertetangan dalam arti filosofis, jika ya maka tidak bisa diratifikasi.”
Dari hasil kajian terhadap reference paper dapat diambil suatu komentar dan masukan, bagaimana meletakkan Perjanjian Internasional dalam kerangka Hukum Nasional.
1. Penempatan Perjanjian Internasional dalam kerangka Hukum Nasional selama ini trgantung dari selera penguasa, karena UUD 1945 atau UUD NRI 1945 tidak tegas memberikan asas sebagai landasan untuk praktek yang nantinya sebagai bagian penyempurnaan sistem ketatanegaraan dan praktek harus mengarah kearah itu.
2. Kerancuan pilihan dalam praktek selama ini untuk menentukan hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional, untuk Indonesia yang paling tepat menggunakan prinsip dualisme, karena dari segi struktur ketatanegaraan Indonesia belum memiliki grand unified desain.
3. Karakter sistem hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum civil law system dan common law system, pengaruh kedua sistem ini belum mampu disintesakan yang melahirkan asas hukum yang menjadi pilihan sesuai dengan jiwa dan karakter bangsa Indonesia.
4. Keanehan yang terjadi dalam praktek, seperti suatu ketika menggunakan logika monisme, saat yang lain menggunakan dualisme, bahkan campuran antara keduanya ini disebabkan tidak ada ketegasan prinsip yang diatur dalam UUD dan Pasal 11 UUD NRI 1945 belum cukup mengatur.
5. Bagaimana ratifikasi sebuah Perjanjian Internasional, apakah dalam bentuk Undang-Undang atau Perpres harus dilihat dari hirarki Hukum Nasional dengan muatan materi untuk meletakkan hirarki Hukum Internasional dengan materi muatannya. Jikapun Indonesia memilih prinsip monisme harus ke primat Hukum Nasional, kesadaran politik yang belum mapan yang membuat Indonesia sering dirugikan akibat Perjanjian Internasional.
6. Ratifikasi Perjanjian Internasional harus merupakan bagian dari Hukum Nasional, asalkan tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 merupakan sebuah prinsip, tetapi UUD NRI 1945 masih belum memenuhi syarat sebagai fundamental norm Negara.
7. Secara teori bisa saja menggunakan format Perppu untuk meratifikasi sebuah Perjanjian Internasional, tetapi akan menjadi dilematis bagi pemerintah, jika Perpu itu ditolak di DPR.
8. Tentang ratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang-Undang No.17 Tahun 1985, maka terjadi perubahan rejim perairan dari internal waters menjadi archipelagic waters. Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 dapat dijadikan untuk pemberlakuan rejim archipelagic waters. Oleh sebab itu, ratifikasi suatu Perjanjian Internasional harus sudah dipikirkan, apa-apa dan ketentuan apa saja yang dipengaruhinya dan menguntungkan Indonesia atau merugikan.
9. Dapatkah DPR dan Presiden mengesahkan Perjanjian Internasional yang bertentangan dengan hukum nasional, secara teoritik tidak boleh, tetapi dalam ha1 apa pertentangan itu terjadi dan apakah bertetangan dalam arti filosofis, jika ya maka tidak bisa diratifikasi.
10. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, merupakan Undang-Undang yang dilahirkan dengan menabrak Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, karena Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 syarat dengan kepentingan investasi dan banyak Undang-Undang yang dilahirkan untuk kepentingan kelompok baik kepentingan kelompok dalam negeri maupun kepentingan kelompok luar negeri, bukan untuk kepentingan Bangsa Indonesia.
11. Dari sekian banyak bentuk dan istilah yang dipergunakan dalam Perjanjian Internasional, maka ratifikasi menjadi sangat penting dilakukan dalam bentuk Undang-Undang.
12. Subyek Hukum Internasional adalah Negara, dalam ha1 ini diwakili oleh Pemerintah (eksekutif), maka lembaga yang lain tidak bisa melakukan Perjanjian Internasional secara langsung, harus melalui pintu Pemerintah (eksekutif) yang mewakili Negara sebagai subyek Hukum Internasional.
13. Setiap lembaga atau instansi yang akan melakukan Perjanjian Internasional, harus dilihat dari segi subyek hukum, apakah organisasi ASEAN merupakan Subyek Hukum Internasional, jika ya berarti boleh, tetapi karena ASEAN sebagai organisasi bukan sebagai Negara yang berdaulat, maka perjanjian yang harus dibuat hanya kapasitas untuk melaksanakan Piagam ASEAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar