Kamis, 12 Maret 2009

Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional

(Disadur dari buku Mochtar Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional: Buku I- Bagian Umum”, Bina Cipta, Bandung, 1990, hlm. 65-67)

Jika demikian halnya dengan masalah hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional secara umum dan praktek beberapa Negara termasuk Indonesia, bagaimanakah kiranya duduk persoalan hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional itu menurut hukum positif Indonesia.
Mengingat bahwa seperti telah dikatakan di atas persoalan ini tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, satu-satunya petunjuk dalam usaha menjawab pertanyaan ini harus didasarkan atas praktek kita bertalian dengan pelaksanaan kewajiban kita sebagai peserta beberapa perjanjian internasional yang telah kita adakan.
Memperhatikan kenyataan tentang hal ini penulis berpendapat bahwa kita tidak menganut teori ”transformasi” apalagi sistem Amerika Serikat. Kita lebih condong pada sistem Negara-Negara kontinental Eropa yang disebut halaman terdahulu, yakni langsung menganggap diri kita terikat dalam kewajiban melaksanakan dan menaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi perundang-undangan pelaksanaan (implementing legislation).
Orang yang meragukan kesimpulan demikian dapat mengatakan bahwa kecenderungan kita mengikuti sistem yang dianut beberapa Negara Eropa, bukannya disebabkan karena kita melakukannya dengan sadar tetapi untuk menutupi kenyataan bahwa kita belum atau lalai memproses kewajiban kita berdasarkan Perjanjian Internasional yang telah diadakan ke dalam bentuk perundang-undangan Nasional.
Dalam beberapa hal tertentu terutama dalam keadaan kita turut serta dalam suatu konvensi yang mengandung berbagai perubahan dan pembaharuan, kelalaian demikian memang bisa menimbulkan keadaan yang kurang diinginkan. Orang, terutama para petugas di lapangan tentu berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang ada (dan belum) diubah yang didasarkan atas konvensi yang lama, sedangkan sebagai Negara kita sudah resmi terikat pada konvensi yang baru.[1]
Memang tak dapat disangkal bahwa sebaiknya kita mengundangkan apa yang sebagai pihak peserta suatu perjanjian telah mengikat kita apalagi apabila kelalaian melakukan hal itu bisa menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan hukum yang berlaku.
Sebaliknya dapat dikemukakan bahwa dalam beberapa hal pengundangan demikian tidak terlalu perlu karena masalahnya tidak menyangkut banyak orang atau persoalannya sangat teknis dan ruang lingkupnya sangat terbatas. Contoh perjanjian atau konvensi demikian ialah Konvensi tentang Hukum mengenai Perjanjian Internasional, Konvensi tentang Hubungan Diplomatik dan Konvensi ICAO. Dalam hal ada pertentangan dengan ketentuan perundang-undangan (yang belum diubah) bagi Hakim atau pihak yang bersangkutan satu-satunya batu ujian bagi terikat atau tidaknya Negara yang bersangkutan ialah apakah perjanjian tersebut telah mengikat kita dengan sah atau tidak.
Tetapi dalam beberapa hal menurut pendapat penulis pengundangan dalam Undang-Undang Nasional adalah mutlak diperlukan yakni antara lain apabila diperlukan perubahan dalam Undang-Undang Nasional yang langsung menyangkut hak Warga Negara sebagai perorangan. Misalnya apabila turut sertanya Indonesia pada suatu konvensi mengakibatkan bahwa suatu kejahatan yang dapat dipidana yang sebelumnya tidak dikualifikasikan demikian atau apabila ada perubahan dalam ancaman hukuman, seperti misalnya dalam hal kejahatan penerbangan (hijacking) dan kejahatan terhadap sarana penerbangan.[2]
Demikianlah pendapat penulis mengenai suatu hal yang di Negara kita yang masih muda ini memang tidak diatur seperti juga persoalan pengesahan Perjanjian Internasional yang sedikit banyak turut menentukan jawaban atas persoalan ini.
[1] Untuk menyebut satu contoh saja yakni mengenai pelaksanaan suatu Konvensi di bidang Keselamatan Jiwa di Laut: Indonesia telah lama menjadi peserta Safety of Life at sea Convention (disingkat SOLAS) 1960, tetapi perundang-undangan nasional yang berlaku yakni Schepen-Ordonnanties dan Schepen-Verordening tahun 1931 dibuat berdasarkan SOLAS tahun 1928. Sementara itu SOLAS tahun 1960 sudah diganti/diubah dengan adanya SOLAS tahun 1972.
[2] Lihat Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana,Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.

Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Republik Indonesia (dalam prespektif Hukum Tata Negara)

By PROF. DR. MOHD. BURHAN TSANI, SH., MH.
Pengantar

Dalam Hukum Tata Negara Indonesia tidak mudah untuk menemukan kaidah hukum yang mengatur tentang status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional RI. UUD 1945 tidak mencantumkan satu pasal pun yang mengatur status tersebut. Pasal 11 dan 13 UUD 1945, yang ada kaitannya dengan Hukum Internasional, mengatur mengenai proses atau prosedur ratifikasi dan pengangkatan serta penerimaan duta dalam ranah Hukum Nasional. Undang-undang yang berkaitan dengan Hukum Internasional, seperti Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional juga tidak mencantumkan pasal tersendiri yang mengatur status tersebut.

Indonesia sejak proklamasi Kemerdekaan 1945, sudah mengadakan interaksi dengan Negara maupun Organisasi Internasional, yang tunduk pada Hukum Internasional. Indonesia sudah terlibat dalam pembuatan berbagai Perjanjian Internasional. Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana sikap Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, dan bagaimana Indonesia menerapkan Hukum Internasional, termasuk didalamnya Perjanjian Internasional.

“Cukup sulit menetapkan teori apa yang digunakan Indonesia. Indonesia tidak secara tegas-tegas menerima teori inkorporasi. Tetapi Indonesia nampak cenderung secara diam-diam menggunakan teori inkorporasi. Dalam menerapkan Hukum Kebiasaan Internasional dan Hukum Internasional universal, Indonesia tidak pernah melakukan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai adopsi khusus.”
Pada tahun 1969, 1978 dan 1986. Indonesia menetapkan bahwa yang mempunyai kapasitas untuk membuat Perjanjian Internasional adalah Presiden. Sekarang Indonesia mempunyai Undang-Undang mengenai Perjanjian Internasional yakni Undang-Undang No. 24 Tahun 2000.

Pasal 13 UUD 1945 menunjukkan kesediaan Indonesia mengakui keberadaan Hukum Diplomatik, yang juga masih berupa Hukum Kebiasaan Internasional. Hukum tentang hubungan diplomatik dan konsuler dituangkan dalam Perjanjian Internasional baru tahun 1961, 1963, 1969, 1973, 1975 dan 1979. Indonesia menetapkan bahwa Presiden mempunyai kapasitas untuk mengangkat dan menerima duta dan konsul. Sekarang Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

Permasalahan yang mungkin masih relevan untuk dibahas adalah bagaimana sikap Negara ketika terjadi pesinggungan atau perbenturan dan bahkan pertentangan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Hal ini mungkin terjadi dalam penerapan Perjanjian Internasional di ranah Hukum Nasional.

Negara akan mengutamakan Hukum Internasional atau Hukum Nasional?

Permasalahan pengutamaan dapat diselesaikan dengan menggunakan paham (teori) dalam hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Dikenal ada dua paham yaitu dualisme dan monisme.

Menurut paham dualisme Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hakekat Hukum Internasional berbeda dengan Hukum Nasional. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang benar-benar terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Namun secara logika paham dualisme akan mengutamakan Hukum Nasional dan mengabaikan Hukum Internasional.

Berdasarkan paham monisme Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan bagian yang saling berkaitan dari satu sistem hukum pada umumnya. Pengutamaan mungkin pada Hukum Nasional atau Hukum Internasional. Menurut faham monisme dengan pengutamaan pada Hukum Nasional, Hukum Internasional merupakan kelanjutan Hukum Nasional. Hukum Internasional merupakan Hukum Nasional untuk urusan luar negeri, paham ini cenderung mengabaikan Hukum Internasional.

Berdasarkan paham monisme dengan pengutamaan pada Hukum Internasional, Hukum Nasional secara hirarkis lebih rendah dibandingkan dengan Hukum Internasional. Hukum Nasional tunduk pada Hukum Internasional dalam arti Hukum Nasional harus sesuai dengan Hukum Internasional.

Dimungkinkan ada monisme yang menganggap bahwa Hukum Nasional sejajar dengan Hukum Internasional. Hubungan antara keduanya saling melengkapi. Hal ini tercermin dalam Statuta Roma atau Konvensi tentang Terorisme Bonn.

Hukum Internasional tidak mewajibkan bahwa suatu Negara harus menganut paham dualisme atau monisme. Dalam praktek pilihan pengutamaan pada Hukum Nasional atau Hukum Internasional, ditentukan oleh preferensi etnis atau preferensi politis. Bagi pandangan yang mempunyai sikap politis nasionalis, akan mengutamakan Hukum Nasional. Sebaliknya bagi pandangan yang simpatik pada Internasionalisme, akan mengutamakan Hukum Internasional.

Dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang yang ada sekarang, belum ada ketentuan (pasal), yang secara tersendiri menentukan sikap Indonesia. Bertumpu pada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, Indonesia menganut paham monisme. Berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada monisme dengan pengutamaan Hukum Internasional.

Masalah berikutnya yang perlu diperhatikan adalah bagaimanakah penerapan Hukum Internasional dalam ranah Hukum Nasional Indonesia. Mengenai hal ini ada beberapa teori yang dikenal dalam Hukum Internasional, yaitu teori transformasi, delegasi, dan inkorporasi.

Menurut teori inkorporasi Hukum Internasional dapat diterapkan dalam Hukum Nasional secara otomatis tanpa adopsi khusus. Hukum Internasional dianggap sudah menyatu ke dalam Hukum Nasional. Teori ini berlaku untuk penerapan Hukum Kebiasaan Internasional dan Hukum Internasional universal.

Dalam penerapan Hukum Internasional, yang bersumber dari Perjanjian Internasional ada dua teori, yaitu teori transformasi dan teori delegasi. Berdasarkan teori transformasi, Hukum Internasional yang bersumber dari Perjanjian Internasional dapat diterapkan di dalam Hukum Nasional apabila sudah dijelmakan (ditransformasi) ke dalam Hukum Nasional, secara formal dan substantif. Teori transformasi mendasarkan diri pada pendapat pandangan positivis, bahwa aturan-aturan Hukum Internasional tidak dapat secara langsung dan “ex proprio vigore” diterapkan dalam Hukum Nasional. Demikian juga sebaliknya. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan sistem hukum yang benar-benar terpisah, dan secara struktur merupakan sistem hukum yang berbeda. Untuk dapat diterapkan ke dalam Hukum Nasional perlu proses adopsi khusus atau inkorporasi khusus.

Menurut teori delegasi, aturan-aturan konstitusional Hukum Internasional mendelegasikan kepada masing-masing konstitusi Negara, hak untuk menentukan:
1. kapan ketentuan Perjanjian Internasional berlaku dalam Hukum Nasional;
2. cara bagaimana ketentuan Perjanjian Internasional dijadikan Hukum Nasional.

Prosedur dan metode yang digunakan Negara merupakan suatu kelanjutan proses, yang dimulai dengan penutupan (persetujuan) suatu Perjanjian Internasional. Tidak ada transformasi. Tidak ada penciptaan (pembuatan) aturan hukum atau Hukum Nasional yang benar-benar baru. Yang dilakukan hanya merupakan kelanjutan (perpanjangan) dari satu perbuatan penciptaan yang tunggal. Syarat-syarat konstitusional hukum nasional hanya merupakan bagian dari satu kesatuan mekanisme penciptaan (pembuatan) hukum.

Cukup sulit menetapkan teori apa yang digunakan Indonesia. Indonesia tidak secara tegas-tegas menerima teori inkorporasi. Tetapi Indonesia nampak cenderung secara diam-diam menggunakan teori inkorporasi. Dalam menerapkan Hukum Kebiasaan Internasional dan Hukum Internasional universal, Indonesia tidak pernah melakukan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai adopsi khusus.

Indonesia nampak tidak sepenuhnya menggunakan teori transformasi. Dalam penerapan Perjanjian-Perjanjian Internasional yang berlakunya tidak memerlukan ratifikasi, Indonesia belum pernah membuat perundang-undangan yang mengatur substansi perjanjian yang telah ditandatangani.

PROF. DR. MOHD. BURHAN TSANI, SH., MH.
Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.Berkenaan dengan Perjanjian-perjanjian Internasional yang berlakunya memerlukan ratifikasi, Indonesia dapat dianggap ingin menggunakan teori transformasi. Pengesahan perjanjian-perjanjian tersebut dituangkan dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan Presiden. Dalam hal ini dapat dianggap terjadi penjelmaan dari Hukum Internasional menjadi Hukum Nasional. Akan tetapi perjanjian yang disahkan dilampirkan begitu saja seperti aslinya, bukan dalam bentuk perundang-undangan formal mengenai substansi perjanjian yang bersangkutan. Indonesia secara diam-diam menerima bahwa perjanjian yang bersangkutan sudah menyatu dalam Hukum Nasional. Untuk sepenuhnya menggunakan teori transformasi perlu dilampirkan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi yang termuat dalam perjanjian yang bersangkutan.

Nampaknya Indonesia cenderung menggunakan teori delegasi. Pengesahan yang dilakukan menurut Hukum Nasional Indonesia, merupakan bagian prosedur ratifikasi dalam ranah Hukum Nasional untuk memperoleh instrumen ratifikasi, yang diperlukan prosedur ratifikasi dalam ranah Hukum Internasional. Ratifikasi merupakan bagian prosedur pembentukan Hukum Internasional yang dituangkan dalam perjanjian yang bersangkutan.

Pasal 2 instrumen pengesahan telah menetapkan kapan berlakunya perjanjian yang bersangkutan dalam Hukum Nasional Indonesia. Ketentuan Perjanjian Internasional dijadikan Hukum Nasional dengan Undang-Undang atau Peraturan Presiden. Ketentuan Perjanjian Internasional dijadikan Hukum Nasional dengan Undang-Undang atau Peraturan Presiden. Perjanjian Internasional yang bersangkutan dibiarkan dalam naskah aslinya. Prosedur yang dilaksanakan merupakan bagian dari keseluruhan proses pembuatan Perjanjian Internasional yang bersangkutan.

Keterikatan Indonesia pada Perjanjian Internasional yang bersangkutan, dilandaskan pada penyampaian instrumen ratifikasi dalam ranah Hukum Internasional. Apabila Indonesia sudah menjadi Negara pihak, Indonesia wajib melaksanakannya dengan itikad baik dan melakukan penyesuaian perundang-undangannya dengan Perjanjian Internasional yang sudah berlaku secara definitif.

Penutup

Praktek-praktek yang tidak ajeg dan simpang siur yang mengakibatkan permasalahan perlu diluruskan. Hasil pelurusan dirumuskan dengan baik dan disosialisasikan serta dikomunikasikan kepada semua pengelola Negara dan Warga Negara. Hasil akhirnya dituangkan dalam bentuk perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar.

Praktek Penerapan Perjanjian Internasional dalam Putusan Hakim

By. Suparti Hadhyono
Pengantar

Tugas Hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili atau memutus perkara yang diserahkan kepadanya. Sehubungan dengan tugasnya ini, Hakim tidak boleh menolak perkara yang diserahkan kepadanya dengan dalih tidak ada aturan hukumnya atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Terfokus pada tugas Hakim ini maka Hakim harus tetap mengadili/memutus suatu perkara, meskipun hukumnya tidak ada atau kurang jelas.

Bahwa sumber hukum positif yang berlaku di Indonesia termasuk Perjanjian Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah atau Negara RI menjadi sangat penting artinya mengingat tugas dari Hakim tersebut di atas.

Perjanjian Internasional yang telah ditransformasi kedalam Hukum Nasional RI tentu akan mengikat para Hakim tersebut dalam memeriksa dan memutus perkara yang berhubungan dengan Perjanjian Internasional dimaksud. Namun demikian Hakim tidak terikat secara mutlak oleh Perjanjian tersebut bila tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, tidak sesuai dengan tertib hukum Indonesia maupun tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia.

I. Perjanjian lnternasional bagi Negara RI dapat ditarik benang merah sbb:

Dalam praktek, Indonesia memandang kedudukan Hukum Internasional dalam sistem Hukum Nasional berpandangan:
a) Meski Perjanjian Internasional sudah diratifikasi dengan Undang-Undang, Namun untuk dapat diimplementasikan secara nasional masih dibutuhkan Undang-Undang lagi. Misalnya:
- The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) (Konvensi Hukum Laut Tahun 1982) yang diratifikasi melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985, tetap memerlukan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan.
- Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika Tahun 1971) yang disahkan (diratifikasi) melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1996, masih memerlukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
- The United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003) telah disahkan melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006, meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan masih banyak konvensi- konvensi yang setelah diratifikasi masih memerlukan Undang-Undang lagi yang bersifat Nasional.
b) Terdapat Perjanjian Internasional yang setelah diratitikasi dapat langsung diimplementasikan, yaitu Konvensi Wina Tahun 1961 dan Tahun 1963 tentang Hubungan Diplomatik dan Hubungan Konsuler, yang diratifikasi melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1982.

Terkait dengan tindakan suatu Negara yang sifatnya publik yakni tindakan Negara dalam kapasitas sebagai Negara yang berdaulat, Indonesia dalam meratifikasi Perjanjian Internasional banyak diadakan Reservation (persyaratan). Misalnya dalam mengesahkan Konvensi Psikotropika Tahun 1971, Indonesia tidak terikat pada ketentuan tersebut. Indonesia berpendapat bahwa: apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan penafsiran dan penerapan isi konvensi yang tidak terselesaikan melalui jalur sebagaimana diatur dalam ayat (1) Pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional hanya berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa. Demikian pula terhadap ratifikasi United Nations Convention Against Corruption Tahun 2003, dengan Reservation terhadap Pasal 66 ayat (2) tentang Penyelesaian Sengketa, yang substansinya pada pokoknya sama dengan persyaratan dalam ratifikasi Konvensi Psikotropika Tahun 1971 tsb. Hal ini penting artinya bagi Penegak Hukum (Hakim) dalam mengambil putusan terhadap Hukum Internasional yang telah diratifikasi itu, apakah harus terikat secara mutlak dengan Perjanjian Internasional untuk keseluruhan atau tidak. Hakim disini harus sinkron dengan Political Law dari Pemerintah atau Negara RI.

II. Di dalam mengambil suatu putusan seorang Hakim harus mempertimbangkan 3 aspek, yakni Legal Justice, Social Justice, dan Moral (filosofis) Justice.

Pertama-tama yang akan dipertimbangkan adalah dalam segi juridisnya (Legal Justice). Prinsip yang harus ditegakkan, Hakim dalam menjatuhkan putusan adalah upaya mencari dan menemukan hukum obyektif yang hendak diterapkan, harus dari sumber hukum yang dibenarkan oleh ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang dalam hal ini adalah ketentuan Hukum Positif.

“Masalahnya adalah, apakah Perjanjian Internasional yang sudah disahkan (diratifikasi) oleh Pemerintah, termasuk atau menjadi Hukum Positif yang berlaku di Indonesia.”Di dalam sistem Civil Law atau Statute Law System (Sistem Hukum Perundang-undangan). Sumber hukum utamanya adalah Hukum Positif dalam bentuk kodifikasi. Berdasarkan asas konkordansi, sistem ini dianut di Indonesia sampai sekarang.

Salah satu ciri pokok Hukum Positif adalah diciptakan secara formil yakni sengaja diciptakan secara tertulis, penciptaannya melalui proses dan prosedur yang ditentukan Hukum Tata Negara dan yang berwenang menciptanya hanya Badan yang secara konstitusional ditetapkan dalam UUD.

Di Indonesia penciptaan Undang-Undang telah ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, (pembahasan pertama UUD 1945, tanggal 19 Oktober 1999).

Undang-Undang yang sah secara formal harus mendapat persetujuan DPR, dengan mekanisme; bila inisiatif datang dari Pemerintah atau kekuasaan eksekutif/Presiden, berdasarkan Pasal 5 ayat (1), atau dapat juga berdasarkan inisiatif DPR sendiri berdasarkan Pasal 21 ayat (1), selanjutnya diundangkan oleh Pemerintah in casu Presiden, berdasarkan Pasal 20 ayat (4) UUD (vide UUD 1945, perubahan pertama).

Masalahnya adalah, apakah Perjanjian Internasional yang sudah disahkan (diratifikasi) oleh Pemerintah, termasuk atau menjadi Hukum Positif yang berlaku di Indonesia. Untuk menjawab masalah ini, kita melihat kepada Undang-Undang pengesahan/ratifikasi Perjanjian Internasional. Misalnya Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003, ditetapkan:

Dengan persetujuan bersama
DPR RI dan
Presiden Republik Indonesia
Memutuskan;
Menetapkan.........dst,

Bila dihubungkan dengan penciptaan undang-undang yang telah diatur UUD yang sah secara formal harus mendapat persetujuan DPR, bila inisiatif datang dari Pemerintah (eksekutif) dan telah mendapat persetujuan DPR adalah merupakan produk Hukum Positif yang berlaku di Indonesia.

Karenanya sebagai sumber hukum utama, yakni hukum positif yang berlaku, maka Hakim harus menerapkan Perjanjian Internasional yang telah disahkan tsb. dalam pertimbangan jurisdiksinya.

Hakim terikat dengan Perjanjian Internasional tersebut yang tentunya dengan segala reservation sebagaimana political law dari Pemerintah RI.

Maka jelaslah dalam memutus suatu perkara yang ada hubungannya dengan Perjanjian Internasional, Hakim terikat dengan Perjanjian Internasional yang telah disahkan oleh Pemerintah RI, yang biasanya masih memerlukan Undang-Undang lagi secara nasional dalam implementasinya.

2) Apabila Hakim tidak menemukan peraturan perundang-undangan atau peraturannya tidak jelas, untuk dasar pertimbangan putusan, Hakim dapat menemukan dari sumber hukum tidak tertulis, dalam hal ini hukum adat yang masih tetap diakui sebagai tata hukum di Indonesia. Kebijakan politik hukum tersebut masih tetap dipertahankan dalam pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Th 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

3) Sumber lain tempat Hakim mencari dan menemukan hukum yang hendak diterapkan dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya adalah Yurisprudensi. Bila suatu kasus yang disengketakan tidak diketemukan aturan hukumnya dalam hukum positif dan juga tidak ada dijumpai dalam hukum tidak tertulis, Hakim dibenarkan mencari dan menemukannya dari Yurisprudensi.

Mengapa Hakim berkewajiban mencari dan menemukan hukum obyektif atau hukum materiil yang akan diterapkan dalam perkara yang sedang diperiksa yang selanjutnya akan diputus; hal ini disebabkan karena adanya asas; bahwa pengadilan / Hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dan adanya asas / prinsip JUS CURIA NOVIT.

Asas bahwa pengadilan / Hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih hukum yang mengatur tidak ada atau kurang jelas tertera dalam pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 4 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam hal apabila memang tidak ada atau kurang jelas hukumnya, Hakim wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, dengan cara berpedoman pada ketentuan pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Th 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Berdasarkan adagium Jus Curia Novit, Hakim dianggap mengetahui dan memahami segala hukum, dengan demikian Hakim yang berwenang menentukan hukum obyektif / materiil mana yang harus diterapkan sesuai dengan materi pokok perkara yang menyangkut hubungan hukum pihak-pihak yang bersengketa in konkreto.

Mengenai aspek social justice, Hakim harus mempertimbangkan pula dalam mengadili suatu kasus, tentang aspek sosiologinya yakni tentang pendapat masyarakat mengenai kasus yang dimaksud. Namun Hakim tidak diperkenankan semata-mata mengikuti Public Opinion ini, yang akhirnya akan bertentangan dengan kebebasan Hakim sebagaimana diamanatkan oleh pasal 1 Undang-Undang No 4 Th 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa; Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum RI. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial. Jadi dalam memeriksa dan mengambil suatu putusan, Hakim diharuskan pula memperhatikan aspek sosiologisnya, agar putusan tersebut berimbang antara segi Juridisnya dan segi pendapat umum/masyarakat terhadap suatu kasus.

Sedang mengenai aspek filosofinya ( moral justice ) yang melandasi Hakim dalam memeriksa dan mengambil suatu putusan adalah tidak kalah pentingnya. Sebagai bangsa yang religius, Hakim akan menyandarkan putusannya pada sang Khalik, yang dimanifestasikan dengan irah-irah dalam suatu putusan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Dasar filosofinya adalah bahwa putusan yang telah diambil oleh Hakim itu diserahkan dan diharapkan mendekati rasa keadilan hakiki yang adanya hanya pada kekuasaan Allah semata. Hal ini diupayakan oleh Hakim dalam memeriksa dan mengambil putusan perkara yang diajukan kepadanya, dengan landasan nurani yang jernih dan bening, diserahkan kepada KEADILAN yang Agung milik Tuhan Yang Maha Esa.

III. Berdasarkan uraian bagaimana Hakim dalam memeriksa dan mengambil suatu putusan seperti tersebut diatas, lalu bagaimana Hakim mengakomodasikan hukum materiil yakni hukum positif yang berlaku di Indonesia termasuk Hukum Internasional yang sudah ditransformasikan ke dalam Hukum Nasional dalam putusannya dapat dijelaskan sbb;

Telah diuraikan di depan bahwa sebagai hukum positif yang berlaku, perjanjian-perjanjian internasional yang telah disahkan Pemerintah RI, bagi para Hakim tentu terikat padanya, karena dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara yang ada relevansinya dengan Perjanjian Internasional yang telah disahkan tersebut, niscaya Hakim akan mencari dan menemukan hukum positif dari Perjanjian Internasional dimaksud yang akan diterapkan ke dalam pertimbangan dan putusannya, sesuai dengan aspek Juridisnya.

Di dalam mengakomodasikan hukum-hukum / peraturan-peraturan pada putusannya termasuk hukum internasional, seorang Hakim tidak terpaku dalam pandangan yang legalistik. Sebab disamping Hakim harus menerapkan segala peraturan perundang-undangan dan hukum positif yang berlaku, Ia harus pula dituntut untuk menerapkan rasa keadilan yang pada galibnya sering berbenturan dengan hukum positif yang berlaku, yang berupa Undang-Undang.

Memang benar menerapkan hukum positif secara mutlak itu bertujuan untuk mencapai kepastian hukum. Namun bila kepastian hukum tercapai tetapi dengan mengorbankan rasa keadilan, adalah merupakan suatu ketidakseimbangan.

Dipaparkan disini dengan contoh, mengenai Undang-Undang No. 5 Th 1997 tentang Psikotropika yang dibuat oleh Pemerintah RI berdasarkan Pengesahan Convention On Psychotropic Substances 1971 (dengan Undang-Undang No. 8 Th 1996). Bila misalnya ada seorang pelajar / mahasiswa tanpa hak memiliki, menyimpan dan atau membawa 1 (satu) butir atau ½ (setengah) butir pil ekstasi golongan I, kemudian tertangkap tangan apakah harus dipidana penjara minimum 4 Tahun dan denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- sebagaimana ketentuan pasal 59 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Dalam hal seperti ini rasa keadilan terasa terusik bila dihadapkan dengan hukum positif yang berlaku berupa Undang-Undang meskipun maksud pembuat Undang-Undang dalam penjatuhan pidananya bukan kepada kuantitas obyek (barangnya).

Bila terjadi hal seperti ini dapat dikatakan terdapat benturan antara rasa keadilan dengan hukum positif yang berlaku, lalu bagaimana Hakim dalam mengambil Putusannya?

Menurut E. BARNETT, bila terjadi rasa keadilan berbenturan dengan hukum positif atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka agar kepastian hukum selaras dengan rasa keadilan, hukum positif atau perundang-undangan yang ada perlu “diluweskan”.

Jadi dalam mengakomodasi peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif termasuk Hukum Internasional tidak secara mutlak, harus disesuaikan dengan kondisi dan rasa keadilan baik rasa keadilan masyarakat dan rasa keadilan Hakim sendiri.

IV. Dari analisa sederhana ini dapat disimpulkan bahwa;

a) Di dalam membuat putusan, Hakim terikat dengan hukum positif yang berlaku termasuk Perjanjian-Perjanjian Internasional yang telah disahkan oleh Pemerintah RI, namun keterikatannya itu tidak mutlak, disesuaikan dengan kondisi dan keadilan masyarakat atau bangsa Indonesia sebagai Negara yang bermartabat.

b) Sesuai dengan keterikatan Hakim terhadap Perjanjian Internasional diatas, maka Hakim dalam mengakomodasi Hukum Internasional dalam putusan-putusannya adalah tidak secara mutlak pula. Bila Hukum Internasional tersebut tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia dan kondisi kepentingan bangsa serta tertib hukum Indonesia, maka Hakim dapat “meluweskan” Hukum Internasional yang akan diterapkan di dalam putusan Hakim tersebut.

Demikian tentang sedikit uraian topik diatas, dengan catatan bahwa pendapat dan pemikiran ini adalah pemikiran pribadi penulis sebagai Hakim yang di dukung oleh sebagian besar rekan-rekan Hakim Tinggi Jawa Timur namun tidak mewakili pendapat dan pemikiran semua Hakim di Indonesia.

Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional di dalam Hukum Nasional

By Prof. Dr. Ibrahim R, SH, MH
Latar Belakang dan Permasalahan

Jika dilihat dari Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh Focus Group Discussion (makalah ini disajikan dalam acara Focus Group Discussion, di Surabaya 18-19 Oktober 2008-Red), kajian yang harus dilakukan pada tataran teori dan praktek, maka level makalah ini, seperti derajat sebuah disertasi, suatu beban dan tanggungjawab yang tidak ringan, tapi menarik, dan mudah-mudah bisa dicapai, sehingga hasil dari FGD dapat dijadikan pijakan operasional dalam memperjuangkan harkat dan martabat Bangsa di era globalisasi saat ini. Namun, sejarah menunjukkan bahwa segala hal yang dilakukan Bangsa Indonesia sangat tergantung pada selera para penguasa (orde lama, orde baru, orde reformasi), karena UUD 1945 atau UUD NRI 1945 tidak di desain berdasarkan kerangka ketatanegaraan yang terstruktur. Praktek penerapan hukum, diawali dengan identifikasi aturan hukum dan saat yang sama akan dijumpai empat kemungkinan, yaitu:

1. Kesenjangan antara das sollen dan das sein (benturan antara teori dan praktenya);
2. Leemten in het recht (kekosongan hukum);
3. Vege normen (norma kabur); dan
4. Antinomi (konflik norma).

Persoalan dasar yang dihadapi Negara lndonesia dari dulu sampai sekarang adalah pada fundamen (grand unified theory). Persoalan dan pertanyaan yang dimunculkan oleh TOR untuk dapat diberikan jawaban, teoritik maupun praktek, sebagai berikut:

- Sistem Hukum Nasional belum tegas mengatur mengenai hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional?
-
Lokakarya Evaluasi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
18 – 19 Oktober 2008, Surabaya.Bagaimanakah mengimplementasikan Hukum Internasional ke dalam Hukum Nasional?
- Belum berkembangnya doktrin dan praktek tentang Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional?
- Bagaimana suatu Perjanjian Internasional dapat diterapkan pada suatu persoalan yang dihadapi?
- Apakah hukum nasional lebih tinggi derajatnya dari pada Hukum Internasional atau sebaliknya lndonesia menganut aliran monisme atau dualisme atau campuran dalam hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional?
- Posisi Hukum Internasional dalam Hukum Tata Negara Indonesia?
- Pengaturan Hukum Tata Negara Indonesia tentang status Hukum Internasional?
- Pengaturan UUD NRI 1945 tentang status Hukum Internasional?

Landasan Teoritik

Teori dan praktek merupakan dua hal yang berpasangan, kalaupun tidak jarang keduanya bertentangan, tetapi teori tanpa praktek tidaklah lengkap dan praktek tanpa teori tidak akan pernah mapan. Untuk mengkaji pengaturan, posisi, dan kedudukan Hukum Internasional dalam Hukum Nasional dapat ditinjau dari berbagai segi sebagai implementasi dari:

a. konsep Negara hukum yang dipengaruh aliran hukum yang melekat padanya;
b. sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan Negara yang dianut dan menentukan kedudukan dan hubungan kerja antara lembaga Negara;
c. Negara yang berdaulat sebagai Subyek Hukum Internasional yang melahirkan hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional (Negara sebagai Subyek Hukum Internasional diwakili oleh eksekutif);
d.
“Negara hukum menurut Soepomo (salah satu the founding fathers Indonesia) memberi arti rechtstaat sebagai Negara berdasarkan atas hukum, sebenarnya yang diinginkan oleh Soepomo adalah mensintesakan unsur rechtstaat dengan rule of law, tetapi belum sempat diselesaikan dan bagaimana bentuk refleksinya belum jelas.”apakah hirarki perundang-undangan nasional seirama dengan hirarki Hukum Internasional.
e. dalam praktek hubungan hukum nasional dengan hukum internasional dikenal dua aliran, yaitu monisme dan dualisme.

Teori kewenangan

Negara Berdasarkan atas Hukum
Negara hukum menurut Soepomo (salah satu the founding fathers Indonesia) memberi arti rechtstaat sebagai Negara berdasarkan atas hukum, sebenarnya yang diinginkan oleh Soepomo adalah mensintesakan unsur rechtstaat dengan rule of law, tetapi belum sempat diselesaikan dan bagaimana bentuk refleksinya belum jelas. Empat unsur rechtstaat dari Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl, yaitu jaminan perlindungan HAM, pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politika, tindakan Pemerintah berdasarkan atas Undang-Undang, dan Peradilan Administrasi Negara. Ke-empat unsur tersebut belum lengkap untuk dikonstruksikan dalam konsep Negara hukum Indonesia, oleh sebab itu, masih diperlukan dua unsur dari rule of law A.V. Dicey. Unsur yang belum tercermin dari rechtstaat yaitu supremacy of law dan equality before the law.

Untuk mensintesakan keduanya dengan jiwa bangsa yang disebut dengan Pancasila, namun harus disadari bahwa karakter rechtstaat ber-umbrella dan refleksi dari civil law system dan rule of law ber-umbrella dan refleksi dari common law system. Kemudian the founding fathers, memilih sistem pemerintahan Presidensial yang merupakan refleksi dari rule of law, pembagian kekuasaan memilih percampuran yang merupakan model dari pembagian kekuasaan pada sistem pemerintahan Parlementer dalam bayang-bayang logika trias politika. Namun, percampuran kekuasaan yang dipilih tidak menggunakan bayang-bayang logika trias politika, tetapi melahirkan Lembaga-lembaga Negara, yaitu Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara dan boleh dikatakan tanpa bentuk. Kini, setelah amandemen UUD 1945 makin tidak menentu, yaitu melahirkan main state’s organ (lembaga negara utama), auxiliary state organ (lembaga negara bantu), dan komisi Negara. Lembaga legislasi nasional berdasarkan UUD NRI 1945 adalah DPR dan Presiden, karena Presiden sebagai bagian dari lembaga legislasi, maka setiap melakukan dan melaksanakan Hukum Internasional harus dengan persetujuan DPR, perhatikan macam dan jenis Hukum Internasional.

Sistem Pemerintahan dan Pembagian Kekuasaan

Pemegang Hak Paten sistem pemerintahan yang menjadi pilihan saat ini adalah Inggris dengan sistem pemerintahan Parlementer sebagai mother of parliament, Amerika Serikat dengan sistem pemerintahan Presidensial sebagai mother of presidentialism, dan Perancis dengan sistem pemerintahan Semi-Presidensial sebagai mother of semi-presidentialism. Negara-negara lain sebagai pemegang lisensi dengan varian-varian yang disesuaikan perkembangan sejarah ketatanegaraanya, pilihan terbanyak adalah sistem pemerintahan parlementer.

Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem pemerintahan Inggris di mana kepala Negara adalah Raja/Ratu, Eksekutif adalah Perdana Menteri yang berasal dari anggota Badan Perwakilan yang menang dalam Pemilu (Ketua Partai), maka yang disebut Parlemen di Inggris adalah Raja/Ratu, Perdana Menteri, dan Badan Perwakilan (House of Lords dan House of Commons). Parlemen terdiri dari: raja, wakil bangsawan, dan wakil rakyat. Kerajaan lnggris melaksanakan konsep kekuasaan yang sifatnya monistik, artinya raja, wakil golongan bangsawan, dan wakil rakyat berada dalam satu wadah yang disebut Parlemen. Parlemen merupakan hak untuk membuat atau tidak membuat suatu aturan hukum apapun, tidak seorangpun atau suatu badan yang diakui oleh hukum mempunyai hak mengubah atau meniadakan hukum yang dibuat oleh Parlemen (dikenal dengan Supremasi Parlemen). Inggris menjalankan pemerintahan yang demokratis dan sangat menghormati kebiasaan. Sistem Parlemen ditandai oleh hubungan kerja sama yang erat antara Raja, wakil, bangsawan, dan wakil rakyat dalam Parlemen. Sifat monistik diperlihatkan dengan meletakkan kedudukan Raja dalam Parlemen sebagai ciri khas sistem pemerintahan parlementer Inggris, dibandingkan dengan pemerintahan parlementer Negara lain. Secara individual dan kolektif menteri bertanggungjawab terhadap Parlemen, sistem pertanggungjawaban kabinet yang merupakan konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi di Inggris. Pemerintah terdiri dari tiga unsur:
1. Perdana Menteri, bukan sebagai anggota kabinet, tetapi sebagai pemimpin cabinet;
2. Kabinet, yang beranggotakan manteri-menteri yang di-angkat oleh monarch atas usul;
3. Perdana Menteri;
4. Ada menteri yang berfungsi sebagai pejabat administrasi dan tidak duduk dalam kabinet;

Kabinet secara formal ditetapkan oleh monarch, keanggotaannya ditentukan oleh hasil pemilihan umum sebagai sifat parlemennya. House of Lords tidak banyak pengaruhnya terhadap pembentukan kabinet. Pertanggungjawaban eksekutif arahnya kepada Parlemen, tetapi evaluasi hanya dilakukan oleh House of Commons. Sistem pemerintahan parlementer Inggris, berjalan melalui proses pengurangan kekuasaan absolut raja dan diberikan kepada perwakilan bangsawan, proses ini, akhirnya melembaga menjadi Majelis. Pertumbuhan sejarah pembentukan Majelis dan sifat monistik yang melahirkan ajaran supremasi parlemen dan berpengaruh terhadap sistem pemerintahan demokrasi moderen. Unsur pokok dalam sistem pemerintahan Inggris adalah keseimbangan, kabinet dan parlemen mempunyai hak-hak yang setingkat dan mampu saling kontrol, terlihat pada mekanisme perimbangan antara tanggung jawab politik para Menteri pada satu pihak dan hak pembubaran dewan di lain pihak yang merupakan persamaan derajat antara eksekutif dengan legislatif. Untuk persamaan dalam ha1 waktu ada arbitrasi, seperti kalau kabinet minoritas atau terancam menjadi minoritas, ia tidak dibubarkan sekonyong-konyong secara ex abrupto, melainkan dinyatakan pembubaran dewan, sehingga apa yang menjadi persoalan dalam dewan dapat diajukan kepada pemilih. Kalau dalam pemilihan memberikan suara terbanyak kepada dewan, maka para Menteri mengikuti dan tunduk kepada penetapan rakyat dan mengundurkan diri. Kalau sebaliknya, hasil pemilihan membenarkan tindakan kabinet, adalah giliran dewan untuk tunduk kepada kedaulatan rakyat. Parlemen Inggris terdiri dari: Majelis Tinggi (House of Lords) adalah wakil bangsawan dan Majelis Rendah (House of Commons) adalah wakil rakyat, dan Raja (Ratu). Artinya: RajalRatu, House of Lords, House of Commons, berada dalam satu wadah disebut Parlemen. Dalam sistem Inggris memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada House of Commons untuk membentuk Undang-Undang (Act of Parliament). Raja/Ratu yang merupakan bagian dari Parlemen hanya memiliki fungsi formal, artinya setiap Undang-Undang wajib diajukan kepada Raja/Ratu untuk ditandatangani. Kedudukan parlemen yang sangat kuat, karena diisi oleh orang-orang partai pemenang pemilihan umum. Perdana Menteri berasal dari kalangan mereka dan memerintah selama kepercayaan masih diberikan kepadanya. Namun, oposisi dibiarkan tumbuh dengan subur, sehingga demokrasi dapat berkembang. Kedaulatan ada ditangan rakyat dan sistem ketatanegaaran Inggris sering disebut Parliamentary Sovereignty dan secara historis kekuasaan tersebut berkembang sejak Glorius Revolution 1688. Kewenangan utama parlemen adalah memiliki hak monopoli dalam membuat dan menyusun peraturan perundang-undangan dan pendelegasian wewenang legislatif hanya boleh dilakukan oleh parlemen. Peraturan perundang-undangan dibedakan atas tiga bentuk: (1). Act of Parliament. (2). Delegated Legislation. (3). Autonomic Legislation. Peranan utama anggota Parlemen, berikut:

a. Menilai secara kontinyu rekan separtai yang menduduki jabatan-jabatan menteri dan rekan-rekan mereka yang mungkin. Seorang Menteri mungkin memperoleh mosi kepercayaan secara resmi, tetapi sebenarnya kehilangan posisi diantara para rekannya di parlemen, apabila pendapatnya dilumpuhkan dalam perdebatan dan hanya mempunyai pengetahuan yang sangat sedikit tentang hal yang ditangani.
b. Undang-Undang yang dilahirkan disebut Acts of Parliament, tetapi Rancangan Undang-Undang disiapkan oleh ahli hukum di Whitehall yang berkerja atas intruksi para pegawai Pemerintah berdasarkan kebijakan Menteri.
c. Mengawasi pelaksanaan Undang-Undang, seorang anggota parlemen dapat mengajukan secara langsung kepada Menteri terhadap suatu keputusan. Apabila hasil jawaban tidak puas, dapat diajukan dalam sidang House of Commons.
d. Parlemen dapat menyampaikan gagasan politik, karena partai mempunyai komite-komite ahli dan mengawasi kegiatan Departemen Pemerintahan.
e. Eksekutif dapat menggunakan publisitas Parlemen untuk mendapatkan persetujuan tentang kebijakan-kebijakan pemerintah, tetapi oposisi justru sebaliknya.

Sistem Pemerintahan Presidensial
Amerika Serikat membagi pemerintahan menjadi tiga cabang, yaitu legislatif (Senate dan House of Representatives), eksekutif (Presiden sebagai kepala Negara dan kepala Pemerintahan), dan Yudisial (Mahkamah Agung), pembagaian kekuasaan ini berdasarkan atas prinsip pemisahan kekuasaan dari Trias Politika Montesquieu, yang kemudian dilengkapi dengan checks and balances system, yaitu ketiga kekuasaan tersebut dapat saling kontrol secara terbatas oleh kekuasaan yang sama secara terbatas.
The United States of America diproklamasikan tahun 1776 dan naskah deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang disusun Thomas Jefferson (1743-1826) dan disahkan oleh Kongres Kontinental di Philadelphia pada tanggal 4 Juli 1776, yang ditandatangani oleh 56 anggota Kongres. Amerika Serikat mempunyai konstitusi setelah tiga belas tahun merdeka, yaitu tahun 1789. Setelah konstitusi disahkan dilanjutkan dengan pemilihan Presiden, George Washington (1789-1797) terpilih sebagai Presiden pertama secara aklamasi, seperti juga pemilihan Presiden Indonesia pertama Soekarno (1901-1970), yang dipilih tanggal 18 Agustus 1945 setelah UUD 1945 di sahkan oleh PPKI. Presiden Amerika Serikat yang pertama, telah mewariskan suatu tradisi dua kali masa jabatan Presiden dengan cara menolak dipilih untuk ketiga kalinya. Jika ia mau tidak ada yang akan menghalanginya dan dapat dipastikan bahwa akan terpilih secara aklamasi, karena merupakan mantan panglima perang kemerdekaan dan salah seorang the founding fathers yang sangat disegani dan berpengaruh. Amerika Serikat, pada saat diproklamasikan terdiri dari tiga belas Negara Bagian dan sekarang lima puluh Negara Bagian. Perang kemerdekaan yang terjadi pada musim semi tahun 1775 di Concord, Lexington, dan Bunder Hill menimbulkan pro dan kontra dikalangan tokoh dan masyarakat, apakah revolusi merupakan satu-satunya jalan untuk merdeka, yaitu: yang mendukung jalan perang adalah Samuel Adams dan John Hancock, tetapi yang memilih cara damai dengan Inggris adalah George Washington (1732-1799) dan Thomas Jefferson (1743-1826).
Arsitek konstitusi Amerika Serikat boleh dikatakan dilakukan oleh ahli hukum, pemerintahan, dan politik, yaitu 33 ahli hukum dari 55 peserta konvensi, kalau diperhatikan secara seksama bahwa Amerika Serikat menganut bentuk Negara federal, bentuk pemerintahan republik, dan sistem pemerintahan presidensial. Prinsip dasar dalam konstitusi Amerika Serikat, membagi pemerintahan menjadi tiga cabang, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudisial: Juga menetapkan bagaimana jabatan kenegaraan harus dipilih, batas kekuasaan Federal dengan Negara Bagian, memberikan hukum substantif dasar terbatas yang berhubungan dengan masalah-masalah kontroversial, seperti: perbudakan, kebebasan sipil, hutang Negara, perpajakan, perdagangan, Perjanjian Internasional, dan gelar bangsawan. Sistem pemerintahan Amerika Serikat merupakan yang paling rumit di dunia dengan prinsip Government by the People, artinya kedaulatan ada di tangan rakyat dan dinyatakan melalui pemilihan umum, Presiden dan Wakil Presiden dipilih untuk masa jabatan empat tahun dan sesuai dengan tradisi hanya untuk dua periode masa jabatan. Ketika tradisi yang diciptakan Presiden pertama George Washington (1789-1797) dilanggar oleh Presiden F. D. Roosevelt (1933-1945) yang terpilih untuk keempat kalinya, maka lahirlah amandemen pembatasan masa jabatan presiden dua periode tahun 1951. Tidak seorang pun harus dipilih untuk jabatan Presiden lebih dari dua kali, tidak seorang pun yang telah memegang jabatan Presiden atau ditugaskan sebagai Presiden, untuk lebih dari dua tahun dari suatu masa jabatan untuk mana seseorang lain dipilih menjadi Presiden harus dipilih untuk jabatan Presiden lebih dari sekali.
Keadilan ditegakan melalui Supreme Court yang merdeka dan bebas dari pengaruh legislatif dan eksekutif, para hakim dan Hakim Agung diangkat oleh Presiden setelah menadapatkan persetujuan Senate, Hakim Agung tidak diangkat seumur hidup, tetapi diangkat sepanjang Hakim tersebut melaksanakan tugas dengan baik dalam rentangan waktu seumur hidup, dapat diberhentikan apabila melakukan pelanggaran, kejahatan, dan pemberhentiannya harus didukung dua pertiga anggota Senat.

Teori Hubungan Hukum Nasional dan Hukum lnternasional

Mengenai hubungan antara perangkat Hukum Nasional (HN) dengan Hukum Internasional (HI), yaitu:

a.
“Indonesia menurut Mochtar Kusumaatmadja menganut aliran monisme dengan primat Hukum Internasional. Untuk saat ini, Indonesia dan Negara-Negara sedang berkembang seharusnya menganut dualisme, dan kalaupun memilih monisme harus primat Hukum Nasional.”
Monisme menempatkan HN dan HI sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum pada umumnya, keduanya saling berhubungan. Tokoh aliran ini adalah Hans Kelsen dan Georges Scelle, yang memunculkan dua paham:
- HN lebih tinggi dari HI (primat HN);
- HI lebih tinggi dari HN (primat HI).
Negara penganut monisme: Perancis, Jerman, dan Belanda.

b. Dualisme menempatkan HN dan HI sebagai sistem hukum yang terpisah, masing-masing berdiri sendiri dan tidak ada hubungan satu dengan yang lainnya, tokoh aliran ini adalah Triepel dan Anzilotti. Negara penganut dualisme: Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.

Indonesia menurut Mochtar Kusumaatmadja menganut aliran monisme dengan primat Hukum Internasional. Untuk saat ini, Indonesia dan Negara-Negara sedang berkembang seharusnya menganut dualisme, dan kalaupun memilih monisme harus primat Hukum Nasional.

Hirarki Hukum lnternasional

J.G. Starke membagi sumber materiil Hukum Internasional, dalam lima bentuk:

(1) Kebiasaan;
(2) Traktat;
(3) Keputusan pengadilan atau badan arbitrase;
(4) Karya para ahli hukum;
(5) Keputusan organisasi lembaga internasional;

Sumber Hukum Internasional berdasarkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sebagai berikut:
a. International Conventions;
b. International Custom;
c. General Principles of Law;
d. Judicial Decisions; dan
e. Teachings of the Most Highfy Qualified Publicists.

Sumber Hukum Internasional itu dijadikan dasar untuk membuat Perjanjian Internasional, dan bagaimana menempatkan sumber Hukum Internasional dalam kategori Perjanjian Internasional dalam kerangka dan hirarki Hukum Nasional.

Kekuatan mengikat Hukum Internasional menurut Corbett adalah sebagai kehendak Negara-Negara agar hubungan timbal balik yang mereka adakan karena tidak dapat dilepas dari sifat sosial mereka diatur seraga dan serasional mungkin, melalui tahapan:
Pertama, tahap atau arti pertama dari perkataan “sumber” ini merupakan yang paling abstrak dan yang paling kontroversial, diartikan sebagai ketentuan yang prosedural (tidak pada cita-cita atau ide).
Kedua, tahap kedua kita mengartikan “sumber” sebagai unsur konstitutif bagi aturan Hukum Internasional atau kriteria untuk menyatakan bahwa Hukum Internasional atau bukan, ini sebagai landasan Hukum Internasional sebagai suatu sistem dari peraturan-peraturan yang membentuknya, yaitu kesepakatan Negara-Negara menurut Corbett.
Ketiga, sumber dalam arti manisfestasi relevan atas dasar mana ada tidaknya unsur konstitutif dapat dibuktikan dan dalam konsepnya Brownlie sebagai sumber material. Dalam Hukum Internasional, subyek-subyek itu sendiri merupakan pembentuk hukum (legislator) tidak selalu terdapat prosedur serupa. Akibatnya, persoalan tentang apakah suatu peraturan sungguh-sungguh merupakan peraturan internasional harus dijawab atas dasar fenomena yang tidak begitu formal dan terstruktur, yang dalam ha1 ini diberi istilah “manifestasi unsur konstitutif”. Jadi, Hukum Internasional harus memenuhi dua persyaratan, yaitu derajat kepastian dan kejelasan setinggi-tingginya, perhatian yang cukup terhadap hubungan antar hukum dan hubungan kemasyarakatan. Kesemua itu harus dilihat dalam tiga karakteristik masyarakat internasional yang mempengaruhi Hukum Internasional, yaitu:

(1) Ada sejumlah Negara yang hidup berdampingan (co-exist), yaitu Negara merdeka dan berdaulat yang tidak tunduk pada kekuasan yang lebih tinggi.
(2) Terjadi interaksi antara Negara-Negara yang termasuk ke dalam sistem internasional, terjadi melalui intensitas tertentu secara historis.
(3) Pengakuan atau persepsi pada Negara-Negara tentang perlunya pengaturan hubungan timbal balik antara mereka.

Berbicara Hukum Internasional harus memahami 18 istilah yang sering digunakan dalam Hukum Internasional, yaitu: Treaty; Convention; Agreement; Arrangement; Declaration; Charter; Covenant; Statute; Protocol; Pact; Process verbal; Modus Vivendi; Act; Final Act; General Act; Accord; Compromis; Concordat.

Dalam praktek, treaty dan convention menduduki tempat paling tinggi dalam urutan Perjanjian Internasional.

1. Traktat, istilah ini yang sudah umum digunakan dalam perjanjian-perjanjian internasional, seperti:
2.1. Treaty Banning Nuclear Weapon Tests in the Atmosphere, in Outer Space and Underwater of August 5, 1963.
2.2. Treaty on Extradition between the United States of America and Japan of March 3, 1978.
2. Konvensi, digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang multilateral yang mengatur masalah besar dan penting dan berlaku sebagai kaidah hukum internasional berlaku secara khas, seperti:
2.1. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide of December 9, 1948.
2.2. Convention on the Law of the Sea of December 10, 1982.
3. Deklarasi, pernyataan atau pengumuman dan isinya kesepakatan yang bersifat umum dan pokok-pokoknya saja, menurut J.G. Starke dibedakan 4 macam:
3.1. Deklarasi sebagai suatu perjanjian dalam arti yang sejati, seperti: Deklarasi Paris 1856; Deklarasi Bangkok 8 Agustus 1967; Universal Declaration of Human Rights, 10 Desember 1948.
3.2. Deklarasi sebagai suatu instrumen yang tidak formal yang dilampirkan pada suatu perjanjian (konvensi atau traktat).
3.3. Deklarasi sebagai persetujuan informal yang berhubungan dengan masalah tidak begitu penting.
3.4. Deklarasi sebagai sebuah resolusi yang dikeluarkan dalam suatu konperensi diplomatik yang berisi beberapa pernyataan tentang beberapa prinsip yang harus dihormati oleh semua Negara, seperti:
- Declaration on the Prohibition of Military, Political, or Economics Coercion in the Conclution of Treaty (Konvensi Wina 1969);
- Declaration of Principles Governing the Seabed and the Ocean Floor, and the Subsoil thereof, Beyond the Limit of National Jurisdiction.
4. Statuta, biasa dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu Organisasi Internasional, seperti Statute of Permanent Court of lnfernafional Justice; Statute of International Court of Justice.
5. Piagam, dipergunakan untuk Perjanjian Internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu Organisasi Internasional, seperti Charter of the Unifed Nations; Charter of the Organization of African Unity; Charter of the Organization of American States 1948.
6. Kovenan, artinya hampir sama dengan Piagam, digunakan sebagai konstitusi suatu Organisasi Internasional, seperti: Covenan of the League of Nations; International Covenan on Civil and Political Rights of December 16, 1966; International Covenan on Economic, Social, and Cultural Rights, December 16, 1966.
7. Persetujuan, digunakan untuk Perjanjian Internasional yang ditinjau dari segi isinya lebih tehnis administratif, seperti:
- Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Commonwealth of Australia Establishing Certain Seabed Boundaries, May 18, 1971.
- Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Republic of India Relating to the Delimination of the Continental Shelf Boundary between the Two Countries, August 8, 1974.
8. Perjanjian, arti generik untuk menyangkut segala bentuk, jenis, macam perjanjian internaional, arti spesifik digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang penting, besar baik yang menyangkut Bilateral dan Multilateral. Dalam praktek di Indonesia: Perjanjian disahkan dengan UU, sedangkan Persetujuan dengan keputusan Presiden.
9. Pakta, biasanya digunakan dalam perjanjian yang berkaitan dengan bidang mliter dan pertahanan, seperti: NATO; Pakta Warsawa.
10. Protokol, menurt J.G. Starke merupakan jenis Perjanjian Internasional yang kurang formal, jika dibandingkan dengan traktat, sebagai instrumen pembantu pada suatu konvensi, tetapi berkedudukan secara berdiri sendiri dan tunduk pada ratifikasi atas konvensi itu sendiri.

Teori Kewenangan jabatan kenegaraan pada setiap sistem pemerintahan, wajib dipertautkan dengan pembagian kekuasaan Negara, untuk menentukan batas dan tanggungjawab masing-masing lembaga, sesuai dengan prinsip dan hakikat pembagian kekuasaan, berikut:
(1) Setiap kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan;
(2) Setiap pemberian kekuasaan harus dipikirkan beban tanggung jawab untuk setiap penerima kekuasaan;
(3) Kesediaan untuk melaksanakan tanggung jawab harus secara inklusif sudah diterima pada saat menerima kekuasaan;
(4) Tiap kekuasaan dittentukan batasnya dengan teori kewenangan.

Dalam teori beban tanggung jawab, ditentukan oleh cara kekuasaan itu diperoleh yaitu: pertama-tama kekuasaan diperoleh melalui attributie, setelah itu dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang dilakukan dengan dua cara: delegatie dan mandaat. Delegatie dilakukan oleh yang punya wewenang dan hilangnya wewenang dalam jangka waktu tertentu, penerima bertindak atas nama diri sendiri dan bertanggungjawab secara eksternal. Sedangkan, mandaat tidak menimbulkan pergeseran wewenang dari pemiliknya, sehingga tanggung jawab pelaksanaan tetap berada pada pemberi kuasa. Penerima kewenangan atribusi, tergantung pada pola sistem pembagian kekuasaan yang membawa nilai kedaulatan rakyat dan menghindari absolutisme.

Ketentuan Hukum lnternasional Dalam Hukum Nasional

Meletakkan Hukum Internasional dalam sistem hukum Indonesia dalam teori dan praktek tidak mudah, karena sistem ketatanegaraan Indonesia masih mengandung problema pada grand unified theory ketatanegaraan, sehingga praktek ketatanegaraan selama ini (sejak proklamasi sampai sekarang) tidak pernah dapat melengkapi dan memperkuat struktur ketatanegaran Indonesia, tetapi justru makin memburamkan sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam mengkaji pengaturan, posisi, dan status Hukum Internasional dalam sistem hukum Indonesia, harus dilihat dalam UUD NRI 1945 dan ketentuan perundang-undangan. Pengaturan dalam UUD baru diatur pada amandemen UUD 1945 (2001 dan 2002), sebelumnya tidak diatur, hanya diatur dengan Surat Presiden No. 2826/HK/1960 dan kemudian lahir Undang-Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Ketentuan UUD NRI 1945
“Meletakkan Hukum Internasional dalam sistem hukum Indonesia dalam teori dan praktek tidak mudah, karena sistem ketatanegaraan Indonesia masih mengandung problema pada grand unified theory ketatanegaraan, sehingga praktek ketatanegaraan selama ini (sejak proklamasi sampai sekarang) tidak pernah dapat melengkapi dan memperkuat struktur ketatanegaran Indonesia, tetapi justru makin memburamkan sistem ketatanegaraan Indonesia.”
Pasal 11, UUD NRI 1945 Ayat (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Ayat (2) Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Ayat (3)). Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan Undang-Undang. Ketentuan Pasal 11 UUD NRI 1945 belum cukup mengatur posisi dan kedudukan Hukum Internasional dalam sistem Hukum Tata Negara Indonesia dan Pasal 11 ini belum bisa dijadikan payung hukum jika menguji ketentuan-ketentuan internasional yang akan menjadi bagian Hukum Nasional dan dalam praktek juga tidak jelas Indonesia menganut monisme atau dualisme dalam hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional. Praktek dari tahun 1945-1960 tidak ada ketentuan, baru tahun 1960 keluar Surat Presiden No. 2826/HK/1960 dan kemudian lahir Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Tetapi, nasib Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tidak jelas, apa sudah dicabut atau belum.

Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, tidak singkrun dengan Jiwa dan Semangat UUD NRI 1945 sebagai mana diamanatkan Pembukaan UUD NRI 1945, kurang pas dengan struktur pembagian kekuasaan Negara, hirarki peraturan perundang-undangan, jika diletakkan pada posisi dan hirarki Hukum Internasional. Ketentuan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 yang akan menimbulkan berbagai implikasi dan persoalan teoritik dan praktek, yang dapat dipertanyakan dan digugat dalam prakteknya, berikut: Pasal 1 ayat (2) Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu Perjanjian Internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan persetujuan (approval). Kesemuanya itu dalam bentuk hukum apa bisa dilakukan dalam warna hirarki perundang-undangan lndonesia dan juga dalam hirarki warna Hukum Internasional. Bagi dunia internasional soal sumber Hukum Internasional dalam pelaksanaannya masih menjadi perdebatan baik secara teoritik maupun praktek, bahkan ada yang menuduh bahwa Hukum Internasional itu bukan hukum. Pasal 1 ayat (3) Surat Kuasa (full powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah RI untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian. Perjanjian menyatakan persetujuan Negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian adalah menyelesaikan hal-ha1 yang diperlukan dalam perbuatan Perjanjian Internasional. Sesuatu yang sulit bisa diterima bahwa Presiden atau Menteri dapat memberikan Surat Kuasa kepada seorang atau beberapa orang untuk mewakili Negara Indonesia untuk menyetujui dan menandatangani Perjanjian Internasional. Menteri sebagai pembantu Presiden dalam tugas keeksekutifan, memberikan Surat Kuasa kepada seseorang atau beberapa orang untuk menyetujui dan menandatangani Perjanjian Internasional, sama juga persoalan yang akan ditimbulkan oleh Pasal 1 ayat Pasal 2 Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam perbuatan dan pengesahan Perjanjian Internasional, dengan berkonsultasi dengan DPR dalam hal yang menyangkut kepentingan publik. Tidak bisa membedakan mana Pemerintah (eksekutif) dengan Menteri sebagai pembantu Presiden dalam melaksanakan tugas keeksekutifan, sepertinya Menteri sebagai lembaga tinggi Negara, tetapi Menteri disini mewakili Pemerintah (eksekutif). Pasal 3 Pemerintah RI mengikatkan diri pada Perjanjian Internasional melalui cara-cara, sebagai berikut:
(1) penandatanganan;
(2) pengesahan;
(3) pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
(4) cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam Perjanjian Internasional.

Pasal 10, pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan Undang-Undang, apabila berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan Negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara RI;
c. kedaulatan atau hak berdaulat Negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Komentar

“Dapatkah DPR dan Presiden mengesahkan Perjanjian Internasional yang bertentangan dengan hukum nasional, secara teoritik tidak boleh, tetapi dalam ha1 apa pertentangan itu terjadi dan apakah bertetangan dalam arti filosofis, jika ya maka tidak bisa diratifikasi.”
Dari hasil kajian terhadap reference paper dapat diambil suatu komentar dan masukan, bagaimana meletakkan Perjanjian Internasional dalam kerangka Hukum Nasional.
1. Penempatan Perjanjian Internasional dalam kerangka Hukum Nasional selama ini trgantung dari selera penguasa, karena UUD 1945 atau UUD NRI 1945 tidak tegas memberikan asas sebagai landasan untuk praktek yang nantinya sebagai bagian penyempurnaan sistem ketatanegaraan dan praktek harus mengarah kearah itu.
2. Kerancuan pilihan dalam praktek selama ini untuk menentukan hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional, untuk Indonesia yang paling tepat menggunakan prinsip dualisme, karena dari segi struktur ketatanegaraan Indonesia belum memiliki grand unified desain.
3. Karakter sistem hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum civil law system dan common law system, pengaruh kedua sistem ini belum mampu disintesakan yang melahirkan asas hukum yang menjadi pilihan sesuai dengan jiwa dan karakter bangsa Indonesia.
4. Keanehan yang terjadi dalam praktek, seperti suatu ketika menggunakan logika monisme, saat yang lain menggunakan dualisme, bahkan campuran antara keduanya ini disebabkan tidak ada ketegasan prinsip yang diatur dalam UUD dan Pasal 11 UUD NRI 1945 belum cukup mengatur.
5. Bagaimana ratifikasi sebuah Perjanjian Internasional, apakah dalam bentuk Undang-Undang atau Perpres harus dilihat dari hirarki Hukum Nasional dengan muatan materi untuk meletakkan hirarki Hukum Internasional dengan materi muatannya. Jikapun Indonesia memilih prinsip monisme harus ke primat Hukum Nasional, kesadaran politik yang belum mapan yang membuat Indonesia sering dirugikan akibat Perjanjian Internasional.
6. Ratifikasi Perjanjian Internasional harus merupakan bagian dari Hukum Nasional, asalkan tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 merupakan sebuah prinsip, tetapi UUD NRI 1945 masih belum memenuhi syarat sebagai fundamental norm Negara.
7. Secara teori bisa saja menggunakan format Perppu untuk meratifikasi sebuah Perjanjian Internasional, tetapi akan menjadi dilematis bagi pemerintah, jika Perpu itu ditolak di DPR.
8. Tentang ratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang-Undang No.17 Tahun 1985, maka terjadi perubahan rejim perairan dari internal waters menjadi archipelagic waters. Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 dapat dijadikan untuk pemberlakuan rejim archipelagic waters. Oleh sebab itu, ratifikasi suatu Perjanjian Internasional harus sudah dipikirkan, apa-apa dan ketentuan apa saja yang dipengaruhinya dan menguntungkan Indonesia atau merugikan.
9. Dapatkah DPR dan Presiden mengesahkan Perjanjian Internasional yang bertentangan dengan hukum nasional, secara teoritik tidak boleh, tetapi dalam ha1 apa pertentangan itu terjadi dan apakah bertetangan dalam arti filosofis, jika ya maka tidak bisa diratifikasi.
10. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, merupakan Undang-Undang yang dilahirkan dengan menabrak Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, karena Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 syarat dengan kepentingan investasi dan banyak Undang-Undang yang dilahirkan untuk kepentingan kelompok baik kepentingan kelompok dalam negeri maupun kepentingan kelompok luar negeri, bukan untuk kepentingan Bangsa Indonesia.
11. Dari sekian banyak bentuk dan istilah yang dipergunakan dalam Perjanjian Internasional, maka ratifikasi menjadi sangat penting dilakukan dalam bentuk Undang-Undang.
12. Subyek Hukum Internasional adalah Negara, dalam ha1 ini diwakili oleh Pemerintah (eksekutif), maka lembaga yang lain tidak bisa melakukan Perjanjian Internasional secara langsung, harus melalui pintu Pemerintah (eksekutif) yang mewakili Negara sebagai subyek Hukum Internasional.
13. Setiap lembaga atau instansi yang akan melakukan Perjanjian Internasional, harus dilihat dari segi subyek hukum, apakah organisasi ASEAN merupakan Subyek Hukum Internasional, jika ya berarti boleh, tetapi karena ASEAN sebagai organisasi bukan sebagai Negara yang berdaulat, maka perjanjian yang harus dibuat hanya kapasitas untuk melaksanakan Piagam ASEAN.

Perjanjian Internasional dalam Sistem UUD 1945

By. DR. Harjono, SH, M.CL
Pendahuluan

Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan ketatanegaraan suatu Negara oleh karenanya pembuatan Perjanjian Internasional yang merupakan salah satu dari aktivitas penyelenggaraan Negara sudah seharusnya didasarkan ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Konstitusi juga mempunyai fungsi sebagai pondasi dalam penyusunan sistem Hukum Tata Negara, oleh karena itu pembuatan Perjanjian Internasional juga menjadi bagian dalam sistem konstitusi. Sementara ini masih terdapat perbedaan pendapat baik diantara pakar hukum maupun praktisi penyelenggara Pemerintahan Negara mengenai dasar konstitusional yang mengatur pembuatan Perjanjian Internasional. Perbedaan yang menyebabkan pandangan yang beragam tersebut mempunyai implikasi baik praktis dan teoritis dalam memberi dasar pengaturan tentang Perjanjian Internasional.

Lokakarya Evaluasi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
18 – 19 Oktober 2008, Surabaya.Uraian di bawah ini mencoba untuk menemukan dasar-dasar pengaturan konstitusional pembuatan Perjanjian Internasional menurut UUD 1945 dalam suatu kesisteman. Charles Sampford melihat bahwa ada pandangan yang umum mengenai sistem dan ciri atau karakteristik sistem yaitu disebutkan bahwa dalam sistem terdapat: “there are wholes; they have elements and those elements have relations which form structure”. Lebih lanjut dinyatakan: “Source-based system has legal rules or norms for elements. These are related by relations of authority or validity to higher rules. These relations are clasically formed into a pyramidal and hierarchal structure with one ultimate rule, ‘basic norm’ or ‘legal science fiat’ at the top. The wholeness factor is provided by the structure itself and by its function of providing the authoritative basis for all law in community”. Dengan berdasar pada pengertian sistem sebagaimana di atas uraian di bawah ini akan ditinjau dari Perjanjian Internasional dalam UUD 1945.

Dasar Hukum

Dasar Hukum Perjanjian Internasional dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami perubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan:

(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(2) Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukkan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 11 UUD tersebut satu-satunya Pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan didalamnya adanya kata “Perjanjian Internasional”, oleh karena itu perlu dikaji lebih dahulu dalam konteks apa UUD 1945 tersebut mengatur hal Perjanjian Internasional.

Pasal 11 termasuk dalam Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara yang di dalam substansi pasal-pasalnya mengatur tentang Presiden dalam sistem UUD 1945. Bab III UUD ini mengalami perubahan yang sangat banyak apabila dibandingkan dengan Bab III UUD sebelum perubahan. Disamping perubahan isi pasal-pasal perubahan UUD juga menambahkan pasal-pasal baru dalam Bab III ini yaitu : Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C.

“Pihak Negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya Negara lain tersebut tidak harus perlu berhubungan dengan lembaga Negara yang lain untuk mengetahui maksud atau kehendak Negara Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan pihaknya.”Pasal 11 sebelum perubahan merupakan pasal tunggal tak berayat yang berbunyi: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain”, dan setelah perubahan UUD ketentuan yang terdapat dalam Pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11 tanpa dilakukan perubahan bunyi aslinya. Kedudukan Presiden dalam UUD setelah perubahan berbeda dengan kedudukan Presiden sebelum perubahan, hal tersebut dikarenakan adanya perubahan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD. Sebelum perubahan Pasal 5 ayat (1) menyatakan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, sedangkan setelah perubahan Pasal tersebut menjadi berbunyi: “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20 ayat (1) UUD setelah perubahan berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) tersebut terjadi pengalihan pembuatan Undang-Undang dari tangan Presiden ke DPR.

Perubahan demikian juga menyebabkan perubahan pada apa yang dimaksud sebagai Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab III UUD. Sebelum perubahan UUD, Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berada di tangan Presiden meliputi:
(1) kekuasaan eksekutif (vide Pasal 4 ayat (1) UUD);
(2) kekuasaan membentuk Undang-Undang (vide Pasal 5 ayat (1) UUD sebelum perubahan);
(3) kekuasaan sebagai kepala Negara.

Setelah perubahan UUD, Kekuasaaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Bab III menjadi hanya meliputi kekuasaan saja yaitu:
(1) kekuasaan eksekutif;
(2) kekuasaan sebagai kepala Negara.

Bab III UUD mengandung substansi yang berhubungan dengan lembaga Presiden dalam sistem UUD 1945 dimana didalamnya termasuk kewenangan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Kedudukan Presiden dalam sistem presidensiil menjalankan dua fungsi sekaligus yang melekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan sebagai kepala Negara. Dengan adanya Pasal 11 tersebut UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah yang mewakili Negara dalam melakukan hubungan dengan Negara lain dan bukan lembaga Negara lainnya.

Bentuk Hukum

Sebuah Perjanjian Internasional pada hakekatnya adalah merupakan penuangan kesepakatan yang diambil oleh para pihak, dalam hal ini antar Negara yang membuatnya. Dengan demikian dalam sebuah Perjanjian Internasional tercerminkan kehendak dua pihak. Setiap Negara mempunyai aturan yang berbeda tentang siapa yang berhak untuk mewakili Negara tersebut dan dari wakil itu pula lah pihak Negara lain mendapatkan kepastian bahwa memang pihaknya telah bertemu dan mengadakan kesepakatan dengan wakil yang sah. Dengan berdasar pada bunyi Pasal 11 UUD 1945 telah jelas bahwa Presiden lah yang akan menyatakan, membuat perdamaian dan perjanjian. Pihak Negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya Negara lain tersebut tidak harus perlu berhubungan dengan lembaga Negara yang lain untuk mengetahui maksud atau kehendak Negara Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan pihaknya. Dengan demikian bentuk hukum dari pernyataan Negara yang ditujukan ke luar tersebut seharusnya adalah pernyataan dari Presiden dan dalam sistem perundang-undangan pernyataan Presiden tersebut lebih tepat diwadahi dalam Keputusan Presiden bukannya bentuk lain umpama saja Peraturan Presiden.

Pasal 11 mensyaratkan bahwa pada saat Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain harus dengan persetujuan DPR. Persoalannya adalah apakah dengan adanya syarat tersebut menjadikan bentuk hukum dari pernyataan Presiden yang ditujukan ke pihak luar tersebut harus berbentuk Undang-Undang. Pasal 11 ini tidak mensyaratkan bahwa bentuk hukum tersebut haruslah Undang-Undang, meskipun ada kemiripan antara prosedur yang disyaratkan dalam pembuatan Undang-Undang dengan prosedur yang harus dipenuhi apabila Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain, namun demikian tidaklah berarti bahwa bentuk hukum pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain harus dalam bentuk hukum Undang-Undang.

“Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh Undang-Undang, apakah ini tidak berarti bahwa kehendak Negara lain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme internal Negara lain karena digantungkan kepada pengesahan Undang-Undang. Bagi pihak lain yang diperlukan adalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan bukan pengesahan Undang-Undang.”Apabila pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain diwadahi bentuk hukum Undang-Undang maka artinya proses pembuatannya pun harus sesuai dengan tata cara pembuatan Undang-Undang dan hal yang demikian akan menimbulkan persoalan hukum. Pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain mempunyai karakteristik yang berbeda. Sebagai sebuah ilustrasi, apabila terjadi suatu konflik dengan Negara lain yang tidak dapat diselesaikan dengan damai dan kemudian terpaksa ditempuh jalan dengan peperangan, apakah Presiden harus mengajukan lebih dahulu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan untuk menyatakan perang, padahal situasinya sangat kritis, atau apabila DPR sedang reses. Kalau proses pembuatan Undang-Undang harus dilakukan tentu saja akan menunggu waktu yang cukup lama dan keinginan perang tersebut telah diketahui oleh pihak musuh hal demikian tentunya sangat merugikan strategi berperang dan dapat menyebabkan kekalahan. Pernyataan perang adalah pernyataan sepihak dan harus dilakukan secara cepat serta tidak dapat dibahas sebagaimana membahas suatu Rancangan Undang-Undang, hal demikian tentu saja sangat berbeda dengan membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan Negara lain yang memerlukan kesepakatan bersama antara ke dua belah pihak.

Dari sudut hubungan antar pembuat kesepakatan, dalam hal ini antara Negara Indonesia dengan negara lain khususnya dalam perjanjian bilateral, sangatlah janggal praktik yang selama ini dilakukan yaitu pengesahan Perjanjian Internasional diwadahi dalam bentuk Undang-Undang. Kedua pihak setelah menyepakati hal-hal tertentu perlu kemudian menuangkan kesepakatan tersebut dalam bentuk perjanjian, sehingga yang diperlukan diantara keduanya adalah pernyataan masing-masing pihak melalui wakilnya bahwa mereka telah menyetujui hal-hal yang disepakati bersama tersebut dalam suatu naskah yang berakibat mengikat kepada kedua belah pihak. Praktik pengesahan dengan Undang-Undang menimbulkan persoalan. Undang-Undang adalah bagian dari Hukum Nasional sedangkan perjanjian dengan Negara lain merupakan kesepakatan antar Negara yang berada di luar ranah urusan internal Negara. Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh Undang-Undang, apakah ini tidak berarti bahwa kehendak Negara lain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme internal Negara lain karena digantungkan kepada pengesahan Undang-Undang. Bagi pihak lain yang diperlukan adalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan bukan pengesahan Undang-Undang.

Praktik pengesahan Perjanjian Internasional menimbulkan pertanyaan apakah sebenarnya disahkan perjanjian tersebut tidak sah, apakah mungkin kehendak suatu negara kesahannya digantungkan kepada mekanisme internal negara lain. Pranata pengesahan mengindikasikan bahwa pihak yang perbuatannya perlu disahkan berada pada tingkat lebih rendah dari yang mengesahkan, tentu hal tersebut tidaklah tepat karena perjanjian dengan Negara lain dilakukan antar pihak yang setara kedudukannya.

”Karena Perjanjian Internasional diberi bentuk hukum Undang-Undang tentunya segala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan Undang-Undang juga harus diberlakukan terhadap proses pembuatan Perjanjian Internasional.”Hal berikutnya menyangkut naskah otentik dari Perjanjian Internasional. Dalam sebuah Perjanjian Internasional termasuk hal yang penting untuk diperjanjikan adalah penentuan naskah otentik perjanjian, yang untuk itu diperlukan kesepakatan oleh para pihak. Klausula ini penting karena kalau sampai timbul sengketa antar pihak mengenai penafsiran Perjanjian Internasional yang disepakati, maka diperlukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila Perjanjian Internasional yang telah disepakati, maka diperlukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila Perjanjian Internasional dituangkan dalam bentuk hukum Undang-Undang dan kemudian karena suatu sebab terjadi perbedaan dengan yang disahkan dalam Undang-Undang apakah kemudian pihak Indonesia dapat berdalil bahwa naskah yang terdapat dalam lampiran Undang-Undang tersebut sebagai naskah otentik. Hal demikian tentu akan menimbulkan persoalan yaitu apa dasarnya pemerintah Negara lain harus mengakui bahwa lampiran yang terdapat dalam Undang-Undang Indonesia sebagai naskah otentik. Di lain pihak kemudian apa artinya kalau kemudian naskah Perjanjian Internasional yang dilampirkan dalam Undang-Undang ternyata tidak diakui sebagai naskah otentik padahal Undang-Undang telah diundangkan sebagaimana mestinya.

Karena Perjanjian Internasional diberi bentuk hukum Undang-Undang tentunya segala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan Undang-Undang juga harus diberlakukan terhadap proses pembuatan Perjanjian Internasional. Dalam ketentuan UUD Pasal 20 ayat (5) dinyatakan: “Dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama (antara Presiden dan DPR) tersebut tidak disahkah oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”. Sebagai sebuah ilustrasi dapat diajukan dalam kasus ini. Presiden telah mengajukan naskah Perjanjian Internasional kepada DPR, dan kemudian DPR telah menyetujui rancangan tersebut. Karena mekanisme yang berlaku adalah mekanisme pembuatan Undang-Undang, maka ketentuan Pasal 20 ayat (5) menjadi mengikat. Sementara Presiden belum mengesahkan perjanjian tersebut menjadi Undang-Undang terjadilah suatu perubahan materiil yang menyangkut materi dari perjanjian tersebut dan hal demikian menyebabkan Presiden melakukan evaluasi untuk tidak mempertahankan kesepakatan yang telah diambil dalam Perjanjian Internasional karena dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar dan kemungkinan juga pihak Negara lain juga berkesimpulan yang sama. Adanya ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD akan menimbulkan masalah dalam kasus yang demikian.

Bentuk perjanjian dalam Undang-Undang juga menjadikan tidak fleksibel dalam kasus perlunya dilakukan pemutusan perjanjian dengan Negara lain yang harus dilakukan dengan cepat karena adanya dasar-dasar obyektif untuk mengakhiri atau memutuskan perjanjian tersebut. Bentuk Keputusan Presiden akan lebih fleksibel. Adanya syarat dengan persetujuan DPR dalam pembuatan Perjanjian Internasional dapat dilakukan di luar mekanisme pembuatan Undang-Undang. Dalam banyak Undang-Undang telah dikembangkan mekanisme persetujuan DPR terhadap usulan Presiden namun bentuk hukumnya tidak dalam bentuk Undang-Undang, sebagai misal pengangkatan jabatan-jabatan tertentu; Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, dan pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Praktik yang terjadi di Negara lain tidak selalu memberi bentuk Perjanjian Internasional sebagai Undang-Undang atau statute/law, Amerika Serikat menentukan dalam Konstitusi bahwa Perjanjian Internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat dan dengan demikian tidak dalam bentuk Undang-Undang, karena Undang-Undang dibuat oleh Congress namun demikian Perjanjian Internasional tetap mengikat Negara tersebut.

Persetujuan DPR dalam pembuatan Perjanjian Internasional

Pasal 11 UUD 1945 tidak mengatur hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional, namun mengatur kewenangan konstitusional Presiden untuk membuat Perjanjian internasional dalam sistem UUD 1945. Presiden menurut UUD 1945 yang berdasar sistem Presidensiil adalah kepala pemerintahan dan berwenang untuk mewakili Pemerintah Indonesia dalam hubungan luar negeri dalam hal ini membuat Perjanjian Internasional, dengan demikian Pasal 11 adalah materi internal konstitusi Indonesia. Dalam kaitannya dengan aspek Hukum Internasional ketentuan Pasal 11 dapat menimbulkan akibat ke luar yaitu dalam konteks hubungan antara Pemerintah Indonesia dengan Negara lain yang mengadakan perjanjian dengan Indonesia.

“… dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universal bahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah Negara akan mengikat seluruh elemen yang diwakilinya, baik lembaga Negara maupun warganya, ketentuan ini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal.”Apabila secara internal Presiden telah melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang sah secara konstitusional dan oleh karenanya mempunyai akibat hukum. Karena merupakan perbuatan yang sah berarti mengikat secara sah pula baik terhadap lembaga Negara lain termasuk subyek hukum yang terkait dengan isi perjanjian tersebut. Sedangkan dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universal bahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah Negara akan mengikat seluruh elemen yang diwakilinya baik lembaga Negara maupun warganya, ketentuan ini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal.

Pasal 11 menetapkan syarat yang harus dipenuhi apabila Presiden menggunakan haknya untuk melakukan hubungan dengan Negara lain dalam hal ini membuat suatu perjanjian yaitu adanya persetujuan DPR. Pembuat UUD mempunyai dasar rasionalitas tersendiri dan merupakan hak pembuat UUD untuk menentukan syarat tersebut. Disamping membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan Negara lain sebagaimana dinyatakan dalam ayat (1) juga disyaratkan perlunya persetujuan DPR apabila Presiden membuat ”Perjanjian Internasional lainnya” yang: (1) menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, (2) mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang. Secara internal syarat persetujuan DPR tidaklah terkait dengan pembedaan antara Perjanjian Internasional publik dan kontrak bisnis internasional yang dilakukan Negara sebagai subyek Hukum Perdata. UUD mempertimbangkan bahwa apabila Presiden membuat Perjanjian Internasional lain (demikian UUD menyebutnya) yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban Negara harus dengan persetujuan DPR. Pasal 11 ayat (2) menggunakan istilah Perjanjian Internasional lainnya, yang maksudnya di luar yang disebut oleh Pasal 11 ayat (1) yaitu perjanjian perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Dengan demikian ada keperluan untuk menetapkan apa yang dimaksud dengan Perjanjian Internasional lainnya. Pengertian “yang lain” tentunya yang bukan perjanjian perdamaian, dan bukan perjanjian dengan Negara lain. Dengan demikian termasuk dalam pengertian Perjanjian Internasional lainnya yaitu perjanjian yang dibuat dengan Subyek Hukum Internasional lain selain Negara. Namun demikian disyaratkan bahwa perjanjian dengan Subyek Hukum Internasional lain yang memerlukan persetujuan DPD adalah perjanjian yang “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara”. Perlu digarisbawahi bahwa alasan mengapa perlu persetujuan DPR adalah alasan internal dan bukan didasarkan alasan eksternal apalagi diukur dengan praktik Hukum Internasional. Sebagai salah satu unsur perwakilan rakyat, DPR diperlukan persetujuannya untuk membuat perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD, adalah murni pertimbangan pembuat konstitusi yang didasari pemikiran perlunya legitimasi yang lebih luas terhadap perjanjian yang demikian karena menyangkut kepentingan bangsa.

Sementara itu ada pandangan bahwa perjanjian dengan Organisasi Internasional yang menyangkut pinjaman tidaklah perlu persetujuan DPR dengan alasan karena pihaknya bukan Negara dan karena bersifat perdata. Alasan demikian tidaklah tepat, karena dasar pertimbangan konstitusinya bukanlah siapa pihak atau mengenai hal apa materi suatu Perjanjian Internasional tersebut, tetapi karena perjanjian yang demikian menyangkut beban yang mungkin ditimbulkan dari perjanjian tersebut yaitu menjadi beban bangsa. Demikian juga tidak menjadi relevan pertimbangan institusi apa yang akan mempunyai wewenang untuk memutus perselisihan andai saja di kemudian hari timbul perselisihan antara Negara Indonesia dengan pihak lain, apakah akan menjadi kewenangan International Court of Justice ataukah akan menjadi kewenangan lembaga internasioal lain karena perselisihan yang terjadi bukan perselisihan antar negara sehingga bukan menjadi bagian Hukum Publik Internasional.

Pertimbangan konstitusionalitasnya karena isi putusan lembaga tersebut akan mempunyai dampak langsung kepada Negara dan bangsa, baik berdampak dalam hukum publik maupun berdampak perdata. Kewajiban untuk membayar hutang atau denda sebagai hukuman yang dibebankan kepada Negara selaku badan hukum perdata tetap mempunyai dampak pada kehidupan Negara atau Bangsa karena jelas akan mengurangi kemampuan finansial Negara dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya.

Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional

“Pemberlakukan Perjanjian Internasional ke dalam sistem hukum Indonesia tidak selalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalah pada sistem ketatanegaraan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagai satu-satunya lembaga yang mewakili Negara dalam hubungan luar negeri.”Perjanjian Internasional merupakan kesepakatan dari dua entitas hukum yang bebas untuk mengikatkan diri atau tidak mengikatkan diri, artinya tidak ada pemaksaan kehendak. Karena merupakan kesepakatan maka dasar hukum dari kewajiban untuk terikat adalah kehendak masing-masing pihak. Disisi lain masing-masing Negara mempunyai ketentuan di dalam hukum nasionalnya yang menetapkan lembaga atau organ Negara mana yang diberi kewenangan untuk mewakili Negara tersebut dalam berhubungan dengan Negara lain. Perjanjian Internasional yang lahir atas dasar kesepakatan ini menempatkan para pihak dalam posisi setara dan oleh karenanya perjanjian internasional mempunyai dasar “good faith” antar para pihak. Baik pihak pertama maupun pihak kedua secara voluntair menyusun pokok-pokok yang diperjanjikan tanpa ada tekanan. Kalau salah satu pihak berkebaratan maka dapat menolak, atau membuat suatu kesepakatan baru yang kemudian disepakati bersama. Apabila suatu Perjanjian Internasional membebani kewajiban maka pihak yang terbebani memerima beban itu atas pesetujuannya sedangkan pihak lain percaya bahwa kewajiban tersebut akan dipenuhi. Perjanjian Internasional sebagaimana perjanjian pada umumnya berlandas atas prinsip “good faith and mutual trust” antar pihaknya, dengan demikian “pacta sunt servanda” menjadi dasar mengapa para pihak terikat dengan yang diperjanjikan. Dari segi internal Negara yang menjadi pihak dalam Perjanjian Internasional, ada kewajiban untuk menghargai dan memberi akibat hukum pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh lembaga atau organ Negara yang secara hukum diberi wewenang oleh konstitusi untuk mewakili Negara dalam berhubungan dengan pihak luar atau Negara lain. Kewajiban tersebut dibebankan kepada lembaga Negara yang lain termasuk juga lembaga peradilan yaitu dengan cara memberi akibat hukum pada Perjanjian Internasional yang dibuat oleh lembaga yang berwenang serta dengan prosedur menurut hukum yang disyaratkan. Pemberian akibat hukum atas dasar pacta sunt servanda saja seringkali dapat menimbulkan persoalan karena kemungkinan adanya pihak lain yang tidak secara itikad baik melaksanakan perjanjian yang pernah disepakati oleh wakilnya, namun hanya karena adanya itikad tidak baik saja tidak menyebabkan putus atau berakhirnya Perjanjian Internasional tersebut secara otomatis. Untuk menentukan apakah akan tetap memberikan akibat hukum Perjanjian Internasional di dalam negeri, asas pacta sunt servanda perlu dilengkapi dengan asas reciprocity yaitu bahwa pelaksanaan Perjanjian Internasional tersebut di Indonesia akan digantungkan pada pelaksanaan Perjanjian Internasional yang bersangkutan di Negara lain sebagai pihak dalam perjanjian. Kepastian penerapan secara reciprocity ini dapat dipastikan dengan meminta konfirmasi kepada Negara yang bersangkutan melalui jalur diplomatik. Hal demikian perlu dilakukan untuk melindungi kepentingan nasional dalam arti luas yaitu jangan sampai Perjanjian Internasional hanya membebani kewajiban secara sepihak saja.
“Kekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum bagi Hakim untuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil Perjanjian Internasional yaitu Undang-Undang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkan Perjanjian Internasional secara substantif telah disetujui oleh lembaga yang secara konstitusional diberi kewenangan untuk membuat Perjanjian Internasional yaitu Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan.”
Pemberlakukan Perjanjian Internasional ke dalam sistem hukum Indonesia tidak selalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalah pada sistem ketatanegaraan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagai satu-satunya lembaga yang mewakili Negara dalam hubungan luar negeri. Apabila Presiden telah menggunakan wewenang sesuai dengan ketentuan konstitusi maka sebagai konsekuensinya hasilnya pun harus diterima sebagai konstitusional karena dengan demikian akan berarti juga melaksanakan perintah konstitusi. Pemberian tempat Perjanjian Internasional dalam sistem hukum nasional merupakan salah satu pencerminan penegakan konstitusi. Tanpa harus mencarikan dasarnya dalam Konvensi Wina mengenai the Law of Treaty, dasar mengikat Perjanjian Internasional terdapat dalam konstitusi yang tidak mensyaratkan Perjanjian Internasional diwadahi dalam bentuk Undang-Undang. Kalau toh Indonesia belum pernah melakukan akseptasi terhadap the Law of Treaty tidak berarti bahwa Indonesia tidak mempunyai dasar hukum untuk memberlakukan Perjanjian Internasional dalam hukum nasionalnya. Bagi Negara yang tidak pernah melakukan akseptasi terhadap the Law of Treaty tetapi nyatanya terlibat dalam pembuatan Perjanjian Internasional dengan Negara lain dan menerima ketentuan the Law Treaty sebagai acuannya, maka the Law Treaty dapat dianggap secara substansi yang telah menjadi kebiasaan internasional sehingga dapat menjadi salah satu sumber Hukum Internasional.

Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Bagi Putusan Pengadilan

Hakim mendasarkan putusannya pada sumber-sumber hukum yang dapat berupa sumber hukum dalam pengertian materiil dan sumber hukum dalam pengertian formil. Ada kalanya hakim dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk memutuskan kasus yang dihadapi tidak tersedia substansi hukum yang memadai pada sumber hukum formil, yaitu peraturan perundang-undangan yang ada. Sementara itu Hakim dilarang menolak memberi putusan dengan alasan bahwa tidak terdapat hukum yang mengatur, oleh karena itu Hakim harus menemukan hukum. Penemuan hukum oleh Hakim dapat dilakukan dengan menggali rasa keadilan yang terdapat di masyarakat yang salah satu diantaranya dengan merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh di masyarakat yang oleh masyarakat dianggap sebagai sesuatu hal yang memang selayaknya karena dianggap sebagai adil. Kebiasaan tidak saja tumbuh di masyarakat lokal dan nasional tetapi juga di masyarakat Internasional. Perjanjian Internasional yang bersifat multilateral dan kemudian banyak diratifikasi oleh Negara-Negara di dunia, maka secara substantif dapat dianggap sebagai mempunyai nilai keadilan yang diterima oleh banyak Negara, oleh karenanya Hakim nasional dapat mengambil substansi yang terdapat dalam Perjanjian Internasional tersebut sebagai sumber hukum bagi putusannya dan bukan karena bentuk hukumnya yaitu Perjanjian Internasional tetapi atas pertimbangan bahwa secara substantif telah terbentuk kebiasaan yang diterima oleh masyarakat bangsa-bangsa dengan pembuktian bahwa telah banyak Negara menerimanya dengan cara melakukan ratifikasi. Dengan demikian banyaknya Negara yang melakukan ratifikasi menjadi bukti bahwa substansi yang diratifikasi telah diterima sebagai sesuatu yang layak dan adil, dengan demikian kebiasaan internasional tersebut dapat dirujuk oleh Hukum Nasional dalam rangka memberi rasa keadilan melalui putusannya. Disamping sumber hukum materiil, Hakim dalam menjatuhkan putusan juga mempunyai sumber hukum formil, yang utamanya adalah Undang-Undang. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, Hakim bahkan wajib untuk mendasarkan putusannya pada Undang-Undang. Kekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum bagi Hakim untuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil Perjanjian Internasional yaitu Undang-Undang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkan Perjanjian Internasional secara substantif telah disetujui oleh lembaga yang secara konstitusional diberi kewenangan untuk membuat Perjanjian Internasional yaitu Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan. Dalam ilmu hukum, Perjanjian Internasional atau Traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang terpisah dari Undang-Undang. Praktik di Indonesia sementara ini yang mewadahi ratifikasi Perjanjian Internasional dalam bentuk Undang-Undang mengesankan seolah-olah kekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum didasarkan atas bentuk formil Undang-Undang pada hal bukan. Status Perjanjian Internasional yang dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusilah yang menjadikan Perjanjian Internasional tersebut menjadi sumber hukum. Praktik di Amerika menunjukkan secara jelas perbedaan tersebut. Law atau Statute yang dibuat oleh Congress merupakan sumber hukum bagi Hakim, sedangkan Perjanjian Internasional tidak dituangkan dalam bentuk Law atau Statute yang dibuat oleh Congress, tetapi Perjanjian Internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat, namun demikian Konstitusi Amerika menyatakan bahwa Perjanjian Internasional sebagai the law of the land. Meskipun Perjanjian Internasional karena sifatnya dan bukan karena bentuk hukumnya dapat menjadi sumber hukum bagi hakim, namun untuk diterapkan dalam putusan haruslah dilihat sifat masing-masing norma yang terdapat dalam Perjanjian International. Sangatlah mungkin bahwa norma yang ditimbulkan oleh pasal-pasal dari Perjanjian Internasional mempunyai daya ikat atau daya berlaku yang berbeda. Sebagai sebuah contoh dapat dipetik disini pasal atau Article 111 dari Convention on Recognition and Enforcement of Foreign Arbritral Award 1958 yang berbunyi: “Each contracting state shall recognize arbitral award as binding and enforce them in accordance with the rule of procedure territory where the award is relied upon under the condition laid down in the following article”. Apabila Konvensi ini diratifikasi oleh Indonesia dan oleh karenanya mempunyai kekuatan mengikat maka seharusnya Hakim menerapkan langsung isi Pasal ini jika ada permintaan pelaksanaan putusan arbitrase asing asalkan dilaksanakan “under the condition laid down in the following article” sebagaimana disyaratkan Article 111 tersebut. Hal demikian tentunya akan berbeda dengan pelaksanaan dari Article yang terdapat dalam United Nations
“Pengetahuan Hakim tentang Perjanjian Internasional diperlukan manakala Hakim dihadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya dengan Perjanjian Internasional.”
Convention Against Corruption, 2003 yang telah disahkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2006. Article 20 Konvensi ini yang berjudul Illicit Enrichment menyatakan “Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income.” Pasal ini tidak dapat diterapkan oleh Hakim karena jelas bahwa ketentuan ini mewajibkan Pemerintah untuk mengambil langkah legislatif lebih dahulu guna menetapkan perbuatan illicit enrichment sebagai perbuatan pidana yaitu suatu peningkatan kekayaan pejabat publik yang sangat mencolok yang tidak dapat diterangkan secara masuk akal kalau dihubungkan dengan gaji resminya. Pengetahuan Hakim tentang Perjanjian Internasional diperlukan manakala Hakim dihadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya dengan Perjanjian Internasional.
Dr. Harjono, sh., m.cl.
· S1, Sarjana Hukum (S.H.) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 1977;
· S2, Master of Comparative Law (M.C.L.) School of Law, Southern Methodist University, Dallas-USA, 1981;
· S3, Doktor Ilmu Hukum (Dr.) Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 1994.
Kesimpulan

Berdasarkan kajian konstitusi tentang kedudukan Hukum Perjanjian Internasional dapat disimpulkan hal-ha1 sebagai berikut:

Sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan ke luar, Perjanjian Internasional seharusnya berwadah hukum Keputusan Presiden karena Presiden adalah wakil Negara dalam berhubungan dengan Negara lain.
a. Adanya klausula persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti bahwa bentuk hukum ratifikasi Perjanjian Internasional adalah Undang-Undang, oleh karena itu diperlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan persetujuan bersama dalam pembuatan Undang-Undang.
b. Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan adanya persetujuan DPR untuk Perjanjian Internasional lain, karena UUD menganggap penting keterlibatan DPR untuk memutuskan hal-ha1 yang berakibat pada beban negara atau yang mengakibatkan perlunya pembentukan dan perubahan Undang-Undang, bukan didasarkan atas pembedaan antara Perjanjian Internasional publik dan privat.
c. Perjanjian Internasional mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menjadi sumber hukum dalam Hukum Nasional karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi bukan karena diwadahi dalam bentuk Undang-Undang, sehingga Perjanjian Internasional merupakan sumber hukum di luar sumber hukum Undang-Undang.
d. Karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi maka substansi yang terdapat Perjanjian Internasional yang menimbulkan hak dan bersifat self executing juga merupakan sumber hukum bagi putusan pengadilan.
e. Pengesahan Perjanjian Internasional dalam bentuk atau wadah Undang-Undang menimbulkan banyak kelemahan oleh karenanya perlu segera dibuat aturan yang baru.